Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) menyelenggarakan kajian tentang Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pada Kamis (25/07) bertempat di Gedung Ki Bagus Hadikusumo, Ruang Sidang Fakultas Hukum kampus terpadu UMY. Mengangkat tema “Upaya Membangun KUHP Nasional” kajian yang diselenggaralam tersebut menghadirkan empat pemateri dengan bahasan yang cukup spesifik.
Adalah Dr. Aloysius Wisnubroto, S.H, M.Hum yang menyampaikan tentang asas legalitas materiil. Ia berpendapat bahwa Hukum Pidana Indonesia tetap mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat. “Asas legalitas materiil ini menandakan bahwa hukum pidana Indonesia tetap mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat, sebagai contoh di daerah Bali yaitu Awik-awik, tidak hanya itu saja, di daerah Aceh juga masih mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat sekitar, contohnya Qonun. Sehingga hal tersebutlah yang membuat kami bependapat asas ini tetap harus dipertahankan dalam RUU KUHP agar tercapai kepastian hukum yang adil,” terang Aloysius.
Tidak hanya itu, ia menambahkan ada beberapa poin tentang pembaharuan asas legalitas. “Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pembaharuan asas legalitas, diantaranya mengenai perumusan asas legalitas yang terlalu ketat dipandang sulit untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang dinamis. Selain itu juga diperlukan formasi yang tepat, setidaknya dimungkinkan analogi secara terbatas yang mensyaratkan adanya alasan umum yang berkualitas. Dan yang terpenting adalah pencantuman ketentuan dimungkinkannya hukum yang hidup dalam masyarakat perlu dikaji secara komprehensif agar tidak menimbulkan suatu hal yang berlebihan dan bersifat kontra produktif,” tambah Aloysius, dosen Hukum Pidana Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Selain membahas hal di atas, pada kajian tersebut juga membahas mengenai delik kesusilaan yang disampaikan oleh Heri Purwanto, S.H., M.Hum. “Menurut kami perluasan delik kesusilaan ini telah sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu bergesernya kejahatan kesusilaan menjadi kejahatan terhadap tubuh, secara ketentuan sanski pidana maka kejahatan terhadap tubuh ini lebih berat ancaman hukumannya dibandingkan dengan kejahatan terhadap kesusilaan,” ujar dosen Fakultas Hukum UMY ini lagi.
Heri menambahkan ada beberapa catatan kritis terkait delik-delik khusus. “Catatan kritis yang dimaksud adalah mengenai diskresi atau kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana akan semakin besar. Apalagi ada penyesuaian sanksi pidana pada masing-masing tindak pidana utama yang diatur dalam RKUHP. Serta dengan adanya pengaturan tindak pidana khusus berdampak pada tataran aturan pelaksana yaitu RUU KUHAP yang bisa jadi menimbulkan tumpang tindik kewenangan,” tambah Heri
Sebagai Dekan FH UMY, Dr. Trisno Raharjo, S.H, M.Hum juga menjelaskan kesimpulan dari paparan bahasan yang disampaikan. “Diadakannya kajian RUU KUHP ini adalah dengan mengingat bahwa kajian ini udah ada sejak tahun 1963, tarik ulur dan pro kontra terhadap ketentuan pasal-pasal yang ditawarkan selalu menjadi agenda rutin yang diperdebatkan baik dari akademisi maupun praktisi. Dari pemaparan yang sudah dijelaskan dapat ditarik kesimpulan bahwa RUU KUHP ini tetap harus dikawal dan diberi masukan secara baik guna mendapatkan KUHP yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia,” tutup Trisno (CDL)