Kekerasan, apapun bentuknya dan atas nama siapapun alasannya, tidak bisa diterima dan dibenarkan dalam tatanan kehidupan umat manusia. Islam, yang saat sejak tragedi 11 September 2001 di-cap sebagai teroris yang kerap dikaitkan dengan radikalisme. Namun menurut Drs. Djoko Susilo, MA, Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss, etos kerja orang-orang yang disebut radikal dapat diarahkan menjadi energi yang produktif dan bermanfaat.
Demikian disampaikan Djoko saat berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam Kuliah Umum bertajuk “Pesan Agama: Deradikalisasi untuk Perdamaian” yang diadakan bagi sivitas akademika Fakultas Agama Islam (FAI) UMY, Jumat (14/10) di Ruang Sidang Gedung AR Fahruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY.
Dalam hal ini Djoko menerangkan, Swiss sampai 100 tahun yang lalu masih menjadi negara yang dipenuhi konflik-konflik di dalam agama maupun antar agama di negara tersebut. Konflik-konflik tersebut memunculkan orang-orang agama yang radikal. Namun, seiring berjalan waktu kondisi ini dapat dimanfaatkan ke berbagai hal positif. Djoko mencontohkan bagaiamana perusahaan-perusahaan Swiss saat ini memiliki produktifitas yang sangat tinggi apalagi dibandingkan dengan Indonesia. “Tenaga kerja mereka sangat terbatas, tapi sangat produktif. Ini contoh mengarahkan orang beretos kerja tinggi yang positif”, jelasnya
Sementara menurut Dekan FAI UMY, Dr. Nawari Ismail, M.Ag., Kuliah Umum ini memang diadakan mengingat perguruan tinggi diperlukan dalam memerankan bagian yang proaktif dalam gerakan deradikalisasi dan anti kekerasan. “Terlebih lagi bagi Fakultas Agama Islam, yang lebih banyak mengkaji studi Islam, maka salah satu kewajiban morilnya adalah turut menebarkan pesan-pesan perdamaian”.
Nawari menjelaskan, di tanah air kita sendiri sudah menyaksikan bagaimana tindakan yang jauh dari kedamaian dan keadaban itu telah menelan ribuan jiwa dan menghancurkan harta benda tak terkira. “Muhammadiyah memiliki pandangan yang kuat dan tegas tentang paham agama. Setelahnya diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan yang lebih akrab dengan kesantunan, kelembutan, dan kemanusiaan”, jelas Nawari.
Nawari juga menjelaskan, banyak alasan logis yang bisa dikemukakan, mengapa kita menolak kekerasan? Pertama, kekerasan merupakan ekpresi kongkret dari radikalisasi dan gerakan radikal—termasuk yang mengatasnamakan agama atau sambil melantangkan nama Sang Pencipta, Allah Akbar. Kedua, kekerasan dan gerakan radikal sangat dekat dengan dengan anarkisme dan karena itu merusak sistem sosial dan kehidupan manusia yang beradab. Ketiga, kekerasan dan radikalisme tidak pernah diproklamirkan oleh agama yang autentik atau Risalah Islamiyah sebagai pesan dan doktrinnya.