Kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dengan berbagai macam suku, agama, ras, dan adat istiadat di dalamnya menjadi sebuah karakteristik tersendiri bagi bangsa ini. Namun, pada satu sisi keragaman ini dapat pula menimbulkan permasalahan yang kompleks ketika dua pasangan dengan perbedaan agama memiliki keinginan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama ini sendiri tidak memiliki kekuatan hukum dan memiliki konsekuensi menghilangkan nilai-nilai dasar kehidupan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Untuk menghindarinya, perlu dilakukan pemahaman kepada masyarakat khususnya pada generasi muda muslim yang belum melangsungkan perkawinan terkait perkawinan beda agama dan konsekuensinya secara hukum.
Hal itulah yang menjadi latar belakang Ahdiana Yuni Lestari, S.H., M.Hum., Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) untuk melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Perkawinan Indonesia. Bersama dengan timnya yang terdiri dari Dr. Zuly Qodir, M.Ag., dr. Maria Ulfa, MMR., Ph.D., Widya Nur Aini Barid, dan Misran, Ahdiana melangsungkan pengabdian di Masjid Nur Jannah, Grojogan, Tamanan, Banguntapan, Bantul pada Minggu (03/07) lalu. Pengabdian masyarakat yang dilakukan Ahdiana dan tim bermitra dengan Dr. Sururi, M.B.A., Ak., CA., CPA., Ketua Takmir Masjid Nur Jannah dengan target generasi muda muslim termasuk para remaja masjid serta santri Pondok Pesantren Aqwamu Qila dan Pondok IT yang masih berada di lingkungan masjid.
Saat dihubungi oleh BHP pada Selasa (05/07), Ahdiana menerangkan bahwa tujuan dari pelaksanaan pengabdian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai perkawinan beda agama dari aspek hukum dan akibat-akibat hukum yang akan timbul. “Banyak dampak negatif yang akan berakibat hukum, baik dalam urusan rumah tangga itu sendiri, seperti hukum waris atau harta dalam perkawinan, hak dan kedudukan anak dalam perkawinan, serta pencatatan perkawinan. Keabsahan perkawinan beda agama juga dipertanyakan. Di tempat pengabdian ini dilaksanakan sendiri sebenarnya tidak banyak pelaku perkawinan beda agama namun ada. Akhirnya anak hasil perkawinan tersebut bingung dengan statusnya,” ungkapnya.
Sebagai akademisi pada bidang Hukum, Ahdiana menjelaskan bahwa perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Dimana dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 istilah perkawinan antar agama tidak direkognisi, sebagaimana pula yang tercatat dalam Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi ‘perkawinan akan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya’. “Jadi bagi pasangan yang ingin menikah, sahnya perkawinan mereka dikembalikan lagi kepada hukum agama masing-masing. Calon mempelai yang beragama Islam maka hanya sah jika didasari pada ketentuan hukum agama Islam. Lalu perlu diingat bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya mencatat perkawinan antara memperlai yang beragama sama, maka pencatatan perkawinan beda agama akan mengalami kesulitan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ahdiana menjabarkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 pada Pasal 40 C yang berbunyi ‘dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pride dan seorang wanita dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam’ lalu pada Pasal 44 yang berbunyi ‘seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam’ dan pada Pasal 61 yang berbunyi ‘tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien’. Hal ini diperkuat oleh KMA No. 154 Tahun 1991 untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut. Ia menegaskan bahwa perkawinan beda agama itu dilarang baik itu menurut Undang Undang Perkawinan maupun menurut ajaran agama Islam serta pendapat para ulama termasuk Muhammadiyah.
Dari sudut pandang ajaran agama Islam, Dr. Zuly Qodir, M.Ag., menambahkan bahwa Muhammadiyah sendiri telah mentarjihkan pendapat yang menyatakan larangan untuk menikahi wanita non-muslim atau ahlul kitab di atas dalam Keputusan Muktamar Tarjih ke 22 di Malang, Jawa Timur pada tahun 1989 lalu. “Ada beberapa alasan terkait tarjih Muhammadiyah tersebut diantaranya ahlul kitab yang ada sekarang tidak sama dengan ahlul kitab yang ada pada zaman Nabi Muhammad SAW dimana ahlul kitab zaman sekarang secara jelas menyekutukan Allah SWT, lalu pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan, terakhir Insya Allah umat Islam tidak akan kekurangan wanita Muslimah,” ungkap Dosen Magister Ilmu Pemerintahan UMY ini.
Setelah pengabdian masyarakat ini terlaksana, Ahdiana dan tim berharap akan adanya beberapa output yang hadir. Diantaranya adalah adanya peningkatan pemahaman generasi muda terhadap aspek hukum perkawinan beda agama dan konsekuensinya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, adanya peningkatan pemahaman generasi muda terhadap status perkawinan beda agama dengan mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2016, dan adanya peningkatan pemahaman generasi muda terhadap pemahaman hukum perkawinan beda agama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan hak waris anak dari pasangan beda agama. (ays)