Berita

Redenominasi Hanya Sebuah Ilusi

Program penyederhanaan nilai mata uang (redenominasi) yang dicanangkan dan telah disosialisasikan oleh pemerintah, ternyata menimbulkan penafsiran berbeda dari pakar ekonomi. Redenominasi dinilai hanya sebuah ilusi yang dilakukan oleh moneter perbankan tanpa ada substansinya sama sekali.

Pendapat tersebut dilontarkan oleh Ahmad Ma’ruf. S.E., M.Si saat diskusi terbatas di Fakultas Ekonomi Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jum’at (25/1).

Menurut Ma’ruf, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tersebut hanya kegiatan yang bersifat lips service. “Jadi, bukan kebijakan substantif. Itu lebih pada atribut saja, biar kelihatannya uang kita gagah, seperti di negara-negara lain,” ungkapnya.

Kebijakan itu sebenarnya menutupi kelemahan yang menjadi tanggung jawab BI, lanjut Ma’ruf, dan untuk menutupi kelemahan itu, dia mengeluarkan kebijakakan yang seolah-olah bagus. “Padahal tidak ada substansinya sama sekali.”

Dosen FE-UMY ini juga mencurigai adanya potensi untuk moral hasad dalam kebijakan redenominasi. “Moral hasad ini apa? Pasti akan ada pengglontoran dana yang tidak kecil untuk proyek ini. Dan disitu bisa saja ditunggangi oleh kebijakan-kebijakan pragmatis atau aksi-aksi pragmatis.,” jelasnya.

Ma’ruf juga mencontohkan kebijakan yang bersifat privatisasi, namun ternyata ada orang-orang tertentu yang diuntungkan dengan privatisasi tersebut. Dan ia mengkhawatirkan hal seperti ini akan terjadi dalam proyek redenominasi itu. Apalagi saat ini sudah menjelang pemilu 2014.

“Jadi, subtansinya tidak ada. Masyarakat mungkin nanti akan merasa senang dengan adanya kebijakan ini, melihat uang yang awalnya Rp. 10.000 menjadi Rp. 10 jadi bangga karena seperti negara-negara lain. Akan tetapi kebanggaan itu hanya kebanggaan semu. Kita baru bisa bangga kalau nilai tukar rupiah kita itu sudah bagus, kalau sekarang kan masih belum. Jadi, masyarakat harus cerdaslah dalam mengkritisi itu,” tuturnya.

Pakar ekonomi public ini juga menyarankan pada BI agar lebih memfokuskan pada masalah-masalah bangsa yang dihadapi saat ini. “Lebih baik BI fokus pada pengendalian inflasi dan perbaikan nilai tukar rupiah. Udah itu saja! Fokus pada mengelola sistem moneter perbankan, atau kejahatan-kejahatan yang menggunakan instrumen perbankan. Harusnya BI fokusnya kesitu, jangan yang aneh-aneh, karena ini juga biayanya mahal,” ujarnya.

Selain itu, menurut Ma’ruf, masalah bangsa sekarang adalah, ketimpangan pembangunan, nilai tukar kita, inflasi kita yang masih di atas 5 persen misalkan. Lalu fokus pada pendapatan real income. Karena yang dibutuhkan masyarakat adalah kemampuan memproduksi, bukan kemampuan membeli seperti yang terjadi saat ini.

“Ketidakberdayaan itulah yang harusnya fokus diperbaiki oleh negara. Kalau BI fokus memperbaiki tadi itu, moneter, nilai tukar, dan inflasi. Jadi jangan hambur-hamburkan uang, kecuali kalau kebijakan ini memang memiliki agenda tersembunyi dibaliknya. Karena adanya kebijakan seperti ini, masyarakat dan negara sama-sama tidak diuntungkan. Hanya penguasalah yang diuntungkan. Tapi, negara bukan penguasa, dan penguasa bukan negara,” imbuh pakar ekonomi ini. (sakinah)