Bagi Muhammadiyah, Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara dianggap sudah final. Deklarasi yang disampaikan oleh Muhammadiyah terutama pada Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar, semakin meneguhkan ihwal tersebut. Muhammadiyah menetapkan, negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah.
Darul Ahdi merupakan negara tempat terbentuknya konsensus nasional. Indonesia berdiri karena keseluruhan kemajemukan bangsa, golongan, daerah, dan kekuatan politik sepakat untuk mendirikan negara ini. Sementara Darul Syahadah bermakna negara tempat kita berperan aktif dalam mengisi pembangunan. Setelah Indonesia merdeka, semua elemen bangsa diharapkan ikut serta dalam menjadikan negara ini maju, makmur, adil, dan bermartabat.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melalui Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI) UMY kembali menggelar Refreshing Al-Islam dan KeMuhammadiyahan (AIK) bagi seluruh dosen UMY, yang tahun ini mengusung tema “Spirit Dar al-Ahdi wa al-Syahadah dalam partisipasi politik persyarikatan Muhammadiyah”.
H. Agung Danarto M.Ag, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMY, dalam kegiatan rutin tiap tahun dengan tema berbeda-beda tiap tahunnya tersebut menjelaskan bahwa konsep Darul Ahdi Wa Syahadah yang diambil dari Putusan Muktamar Muhammadiyah tahun 2015 bukan hal baru, tetapi merupakan penegasan nilai-nilai yang telah dianut Muhammadiyah sejak awal. Muhammadiyah berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
“Maka ketika Muktamar yang lalu (red: Muktamar 48 di Surakarta) hampir tidak ada perdebatan yang berarti. Padahal ini sebenarnya masalah berat, masalah yang sangat ideologis, sensitif, tetapi karena sudah menjadi bagian dari perjalanan Muhammadiyah selama ini, maka menjadi tidak ada masalah, ” kata Agung pada Selasa (30/01) di Gedung AR Fakhruddin A Lantai 5 UMY.
Konsep Darul Ahdi Wa Syahadah dalam konteks perjuangan umat Islam, menurut Agung, dapat dilakukan dengan dua cara, pertama melalui perjuangan dalam politik praktis dan yang kedua melalui perjuangan kemasyarakatan. Tetapi, Muhammadiyah yang sudah sejak awal berjuang lewat kemasyarakatan tidak berarti memandang bahwa perjuangan lewat politik adalah jalan yang nista dan dijauhi. Hal ini seiring dengan Khittah Muhammadiyah yang menegaskan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi politik.
“Cuma karena berdasarkan pengalaman dan perjalanannya, Muhammadiyah memilih perjuangan lewat kemanusiaan, bukan pada politik. Tapi sebetulnya syahwat Muhammadiyah untuk terjun di politik luar biasa pentingnya,” tuturnya.
Sehingga, Agung sekali lagi menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan, yang karenanya, jangan ditarik-tarik dan dihubung-hubungkan dengan politik. Muhammadiyah dalam menghadapi tahun politik, senantiasa menjaga netralitasnya.
“Walaupun semangat antusiasme orang Muhammadiyah ke politik cukup tinggi, tapi Muhammadiyah berusaha untuk menjaga organisasinya harus netral, tidak main politik. Warga dan kader Muhammadiyah kalau mau main politik silahkan. Karena secara paham keagamaan itu juga termasuk jalur perjuangan. Walaupun tidak mudah untuk menyampaikan ke publik tentang posisi Muhammadiyah ketika sebagian mendukung 01, sebagian yang lain mendukung 02, sebagian yang lain mendukung 03,” pungkas Agung. (Mut)