Jumlah BMT saat ini tumbuh pesat dan menjadi lembaga keuangan andalan usaha riil-mikro. Namun keberadaan lembaga keuangan tersebut di masyarakat juga memiliki banyak permasalahan hukum. Oleh sebab itu lima orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) yakni Resa Wilianti, Rizaldy Anggriawan, M. Arizka Wahyu, Afryansyah Tanjung, dan Septian Widiantoro membuat sebuah penelitian tentang perlindungan dan pengawasan dana nasabah BMT untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Penelitian mereka tersebut berhasil memperoleh pembiayaan dari DIKTI
Seiring dengan tumbuhnya jumlah BMT juga diikuti oleh munculnya berbagai permasalahan. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh belum adanya aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan dan penjaminan dana nasabah BMT. “Saat ini tumbuh banyak BMT karena mendirikannya gampang. BMT sendiri memang ranahnya untuk masyarakat menengah kebawah. Tapi dalam perjalanannya banyak kasus yang muncul seperti penggelapan dana nasabah oleh pengurus.” jelas Resa Wilianti selaku ketua tim penelitian saat ditemui di TU FH UMY Kamis siang (18/7).
Resa mengemukakan, temuan penilitian yang mereka lakukan mengungkapkan prosedur perlindungan dana nasabah BMT yang ada saat ini dibuat oleh masing-masing BMT sehingga setiap BMT memiliki prosedur perlindungan yang berbeda-beda. “Perlindungan terhadap dana nasabah lebih ke tindakan preventif yang dilakukan BMT itu sendiri. Jadi tiap BMT punya prosedur sendiri yang diterapkan kepada mitranya”
Lebih jauh Resa menjelaskan, Karena tidak ada regulasi, lanjut Resa, saat ini BMT hanya mengupayakan langkah-langkah preventif dalam perlindungan dana nasabah. “Legalitas perlindungan dana nasabah BMT belum ada. Kami melakukan penelitian di wilayah Kota Jogja dan Sleman, di kota Jogja kami meneliti BMT yang lumayan sudah berkembang pesat dan memiliki sistem yang bagus. Ternyata untuk melindungi dana nasabahnya mereka punya SOP sendiri yang bersifat preventif dalam kegiatan saving dan financing. Tiap BMT prosedurnya berbeda” Kata mahasiswi FH UMY angkatan 2010 itu.
Resa menambahkan, temuan penelitiannya juga mengungkapkan, pemerintah memiliki otoritas untuk mengawasi BMT karena termasuk dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Kendati telah ada peraturan perundang undangan yang mengatur seperti undang undang lembaga keuangan mikro dan lembaga OJK namun sifatnya masih bersifat umum. “BMT termasuk KJKS jadi pemerintah melalui dinas Koperasi dan Perindustrian disini mempunyai otoritas untuk mengawasi BMT itu sendiri. BMT belum diatur secara khusus, di undang-undang lembaga keuangan mikro sudah ada BMT tapi belum secara keseluruhan diatur.”
Sementara itu Fadia Fitriyanti, SH., M.Hum., M. Kn selaku pembimbing penelitian tersebut mengungkapkan pengurus BMT pelaku penggelapan atau penipuan tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan perbankan Karena BMT tidak diatur dalam undang-undang perbankan. Fadia menambahkan, saat ini legalitas BMT diatur dalam undang-undang perkoperasian. “Bisa menggunakan KUHP untuk menjerat penggelapan dan penipuan itu. Kalau kejahatan perbankan sanksinya bisa jauh lebih berat seperti yang di atur di undang-undang perbankan.” pungkasnya.