Berita

Relasi Agama dengan Negara Tidak Dapat Dipisahkan Dalam Praktik Politik

Menciptakan tatanan politik ideal yang dapat menyelaraskan agama dengan negara perlu memiliki dasar bahwa relasi antara kedua konsep tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan saling membutuhkan. Tatanan politik yang lebih seimbang dan substantif terhadap agama dapat mendorong perkembangan dari tiga pemikiran politik yang saat ini diyakini oleh pakar di dunia.

Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Drs. Muhsin Hariyanto, M.Ag. saat gelaran Sidang Promosi Doktor untuk mempertahankan disertasinya pada Rabu (17/7). Muhsin menyebutkan bahwa praktik politik yang religius-substantif-simbiosis adalah perwujudan dari relasi ideal antara agama dengan negara.

Disertasi dari Muhsin yang merupakan mahasiswa pascasarjana program doktoral Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) membahas dinamika perpolitikan yang dilalui oleh umat Islam sejak masa awal pemerintahan Islam hingga masa kontemporer. Menurutnya, Islam selalu mengedepankan prinsip moralitas dalam setiap praktik berkehidupan, sehingga apapun tujuan yang ingin dicapai termasuk dalam politik tidak boleh dengan melanggar prinsip tersebut.

“Dalam praktiknya, khususnya di Indonesia, politik Islam hendaknya diarahkan pada praktik politik yang lebih substansif, namun juga tidak mengabaikan nilai-nilai moral dan etik. Politik Islam tidak bisa hanya mengedepankan politik yang bersifat simbolik atau hanya menunjukkan identitas keislamannya,” ujar Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMY ini.

Tatanan politik religius-substantif-simbiosis yang dijelaskan oleh Muhsin menekankan aspek simbiosis sebagai kata kunci untuk membentuk hubungan yang saling membutuhkan antara agama dengan negara. Ia menambahkan bahwa agama memerlukan negara karena dengan adanya negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara pun memerlukan agama untuk pembinaan serta pengawasan etika dan moral dalam praktiknya, sehingga diharapkan tercipta politik yang berkeadaban.

“Perpolitikan umat Islam seringkali terjadi konflik antar kepentingan, dan faktor teologis serta kepentingan politik sangat mempengaruhi konflik tersebut. Kepentingan politik memiliki dampak yang lebih besar karena menurut saya, saat ini praktik politik yang dijalankan umat Islam lebih bersifat pragmatis sehingga sering mengabaikan nilai dan substansi dalam praktiknya. Saya pikir umat Islam harus lebih banyak melakukan literasi dan dialog, agar gagasan politik yang didiskusikan memiliki dasar yang kuat dan memiliki kebermanfaatan dalam penerapannya,” imbuh Muhsin.

Muhsin yang juga merupakan Kepala Divisi Pengkaderan dan Kepemimpinan (UNIRES) di bawah Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY pun menyampaikan pandangannya terhadap peta perpolitikan di Indonesia yang menurutnya lebih banyak berdasarkan kepada pemikiran sekuler, sehingga terdapat pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama. Ia mengingatkan agar politisi serta pembuat kebijakan untuk mengedepankan etika dan moralitas dalam berpolitik.

Hasil disertasi dari Muhsin dengan promotor Prof. Dr. Zuly Qadir, M.Ag, dan Dr. Hasse Jubba, M.A ini pun berhasil menghantarkannya untuk mendapatkan gelar doktor di bidang Politik Islam. Muhsin juga menjadi lulusan doktor Pascasarjana UMY yang ke 206, dan ke 57 di Prodi Doktor Politik Islam UMY. (ID)

Share This Post

Berita Terkini