Wacana reshuffle yang kabarnya akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini belum terlaksana meski isu tersebut lama terdengar. Menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Tunjung Sulaksono, M.Si., belum terlaksananya reshuffle, dinilainya, semakin mengkokohkan pencitraan bahwa Presiden adalah seorang peragu. “Beberapa waktu lalu, semua sinyal yang Presiden keluarkan menunjukkan reshuffle akan segera diambil, namun fakta menunjukkan lain,” ungkapnya, di Kampus Terpadu, Selasa (15/3).
Jika Presiden tidak jadi melakukan reshuffle kabinet, Tunjung menilai, ada kemungkinan besar telah terjadi kesepakatan antara Presiden dengan partai-partai yang dianggap mengganggu stabilitas koalisi akibat sepak terjang partai tersebut yang acapkali berseberangan dengan posisi politik partai Demokrat.
Dengan kondisi saat ini, elit partai Demokrat pun harus berbalik arah membela sikap Ketua Dewan Pembina mereka yang tiba-tiba memutar haluan 180 derajat. “Hal ini secara internal menyebabkan stabilitas elit terganggu karena sejak awal para elit yakin dengan ketegasan Presiden, namun keyakinantersebut lantas sirna seiring melempemnya sikap Presiden atau Ketua Dewan Pembina mereka,” terang Tunjung.
Ia menambahkan, ibarat permainan kartu, isu reshuffle merupakan kartu AS yang menjadi senjata andalan Presiden. “Selagi isu reshuffle bertujuan untuk menjewer telinga partai anggota koalisi yang nakal, maka kartu ini akan terus dimainkan, disimpan, dan dijadikan ancaman bagi partai yang coba main-main dengan Presiden atau koalisi,” urai Tunjung.
Namun Tunjung juga mengingatkan partai anggota koalisi tersebut bukan partai kecil lagi yang bisa diancam. “Partai-partai tersebut tentunya juga memiliki bargaining position yang cukup kuat hingga sampai tahun 2014, sehingga reshuffle berbasis punishment kepada partai anggota koalisi akan kecil kemungkinan terjadi. Namun jika ada reshuffle berbasis penilaian kinerja, hal ini kemungkinan bisa terjadi,” tuturnya.
Ia mengatakan isu reshuffle sebenarnya sesuatu yang sama sekali tidak penting bagi rakyat jika hal tersebut masih sebatas pada upaya Presiden dalam menjaga stabilitas internal koalisi. “Jika reshuffle masih pada upaya menjewer anggota koalisi yang nakal, maka reshuffle hanya berdampak bagi kepentingan internal koalisi itu sendiri,” tegas Tunjung.
Ia menjelaskan reshuffle menjadi sesuatu yang relevan bagi masyarakat ketika hal tersebut dilakukan sebagai upaya menjaga kinerja kabinet sehingga agenda persiapan kesejahteraan rakyat dapat segera terwujud. “Reshuffle inilah yang seharusnya menjadi basis pertimbangan untuk melakukan perubahan komposisi kabinet karena banyak kementerian yang terkesan jalan di tempat. Apabila Presiden fokus dengan pencapaian kesejahteraan rakyat, kebijakan yang harus diambil adalah dengan mengganti menteri, tanpa melihat latar belakang partai mereka, yang kinerjanya memang tidak bagus,” tandas Tunjung.