Gerakan perempuan Muhammadiyah yaitu ‘Aisyiyah yang lahir tahun 1917 hadir pada situasi dan kondisi masyarakat dalam keterbelakangan, kemiskinan, tidak terdidik, awam dalam pemahaman keagamaan, dan berada dalam zaman penjajahan belanda. Kini gerakan perempuan Indonesia menghadapi masalah dan tantangan yang kompleks baik dalam aspek keagamaan, ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.
Untuk menghadapi tantangan kompleks tersebut, gerakan perempuan muslim khususnya gerakan perempuan Muhammadiyah pun dituntut untuk melakukan revitalisasi baik dalam pemikiran maupun orientasi praksis gerakannya yang mengarah pada pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan menuju kemajuan yang utama.
Pandangan tersebut akan dikemukakan dalam Seminar dan Lokakarya Pra Muktamar Muhammadiyah ke -46 Jelang Satu Abad ‘Aisyiyah, yang diselenggarakan di Gedung AR Fachrudin Lt. 5, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu- Minggu (17-18/4).
Pada awal kelahirannya, ‘Aisyiyah berada dalam situasi dimana kondisi perempuan semakin memprihatinkan karena pada saat yang sama dibalut dengan budaya masyarakat yang menempatkan perempuan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang memuliakan dan menjunjung tinggi martabat perempuan.
Sebagai respon terhadap kondisi tersebut, pendiri Muhammadiyah, KHA Dahlan bersama istrinya, Nyai Siti Walidah, menaruh perhatian besar dan menempuh jalan keluar dalam bentuk usaha terobosan yang dilakukannya melalui kegiatan-kegiatan pencerahan bagi para perempuan muda yang disebut Sopo Tresno yang selanjutnya disebut gerakan ‘Aisyiyah.
Saat itu Kyai Dahlan berpandangan bahwa perempuan tidak sepantasnya hanya mengurusi rumah tangga, namun perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas-tugas sosial untuk pencerahan dan kesejahteraan ummat manusia. Sejak itulah hadir perubahan baru dalam pandangan perempuan muslim dari ranah domestik ke ranah publik sejalan dengan prinsip dan misi Islam sebagai agama yang membawa risalah rahmatan lil-‘alamin.
Pemikiran dan langkah Kyai Dahlan bersama Nyai Walidah dalam mendirikan ‘Aisyiyah dinilai banyak pihak merupakan pilihan yang sangat progresif, ketika pandangan kalangan tradisional dan masyarakat umum masih bias gender terhadap perempuan. Dengan kata lain, pandangan dan sikap Kyai Dahlan pada saat itu sebenarnya melampaui zamannya.
Dalam pergerakan Islam saat itu belum ditemukan gagasan sekaligus pergerakan kaum perempuan sebagai alternatif baru yang melekat dengan pembaruan Islam, yang memiliki implikasi jauh dalam perubahan sosial dan kemajuan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karenanya, Kyai Dahlan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional, sebagai pengakuan atas langkah pembaruannya.
Kini, dinamika gerakan perempuan Indonesia telah menunjukkan kiprahnya sesuai tantangan dan kondisi sosial politik yang berkembang di Indonesia baik dalam sejarah kebangkitan nasional dan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan. Sayangnya, saat ini kenyataan yang masih dihadapi perempuan Indonesia juga semakin multiaspek seperti ketidakadilan gender, kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, kualitas kesehatan perempuan dan anak yang masih memprihatinkan, kemiskinan, dan berbagai permasalahan sosial lainnya. Selain itu, berbagai pandangan keagamaan yang bias gender masih dihadapi dalam realitas kehidupan masyarakat sehingga berdampak luas bagi kehidupan perempuan.
Untuk itu, perlu bagi ‘Aisyiyah untuk melakukan revitalisasi yang bertujuan untuk mewujudkan terbentuknya Keluarga Sakinah dan Qaryah Thayyibah (masyarakat utama). Dalam konteks Muhammadiyah penguatan gerakan perempuan dalam Persyarikatan melekat dengan misi dan dinamika gerakan Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Revitalisasi gerakan perempuan muslim juga sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kemuliaan perempuan dan kemanusiaan untuk menjadi kholifah dimuka bumi ini dan sebagai perwujudan risalah rahamatan lil’alamin.
Dalam kegiatan tersebut, Ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin, direncanakan hadir untuk membuka dan menjadi Keynote Speaker. Beberapa topik seperti Pandangan Islam Tentang Kemanusiaan dan Perempuan, Perspektif dan Orientasi Gerakan Perempuan Muslim dalam Konteks Kekinian, Perempuan dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Indonesia Saat Ini, diagendakan akan menjadi fokus diskusi pada hari pertama kegiatan tersebut. Sementara itu, pada hari kedua tema diskusi lebih difokuskan terkait ‘Aisyiyah dalam Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia, Aktualisasi Gerakan Perempuan dalam Muhammadiyah, serta Lokakarya dan perumusan hasil seminar.
Peserta yang hadir dalam seminar ini adalah para Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, PP ‘Aisyiyah, PP Organisasi Otonom Muhammadiyah, Majelis dan Lembaga PP Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, PWM dan PWA se-Jawa (DIY, Jateng, Jatim, Jabar, Banten, DKI) dan sekitarnya (Bali, NTB, Sulsel, Lampung), serta undangan perseorangan di lingkungan persyarikatan dan lainnya. Selain itu, sebagai peserta lokakarya, direncanakan hadir para Pimpinan Majelis/Lembaga Muhammadiyah Tingkat Pusat, Pimpinan Majelis/Lembaga ‘Aisyiyah Tingkat Pusat, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah, Pimpinan Organisasi Ortonom Tingkat Pusat.