Berita

Romo Tirun Ingatkan Warga Yogyakarta Agar Tidak Ewuh Pakewuh Dengan Masalah Kraton

KRT.H. Jatiningrat atau yang kerap disapa Romo Tirun, menghimbau pada masyarakat Yogyakarta untuk tidak bersikap “Ewuh Pakewuh” terhadap polemik dan permasalahan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Polemik Kraton yang saat ini masih mencuat di tengah-tengah masyarakat Yogayakarta, menurut Romo Tirun tidak bisa jika hanya dilihat dari satu sisi saja. Apalagi hanya dilihat dari segi angka statistik, yang menunjukkan respon masyarakat Yogyakarta mengenai polemik tersebut. Tapi juga perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan perspektif.

Demikian disampaikan Romo Tirun saat menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi hasil penelitian tentang “Suksesi dan Paugeran Kraton Yogyakarta”, yang diselenggarakan pada hari ini, Rabu (20/5) di ruang seminar gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) lantai 4 Kampus Terpadu UMY. Penelitian yang dilakukan oleh jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jusuf Kalla School of Government (JKSG) UMY dilakukan pada masyarakat Yogyakarta dengan metode survei pada lima kabupaten yang ada di Yogyakarta, yakni Kota Yogyakarta, Bantul, Sleman, Gunung Kidul, dan Kulon Progo.

Menurut Romo Tirun, masyarakat Yogyakarta tidak seharusnya hanya menerima atau setuju-setuju saja dengan apa yang diinginkan Kraton. Bahkan masyarakat Yogyakarta pun tak seharusnya berdiam diri, tidak peduli dengan permasalahan yang terjadi di Kraton. Hal ini karena menurut Romo Tirun, sistem kepemimpinan yang ada dalam Kraton Yogyakarta itu adalah monarki dan demokrasi yang sudah menjadi satu. “Jadi rakyat pun harus ikut menyuarakan hal ini. Jangan hanya diam dan setuju-setuju saja dengan apa yang diperintahkan. Karena kalau kita ingat apa yang dipesankan oleh Sultan HB XI, tahta kraton itu adalah untuk rakyat. Dan rakyat jogja tidak boleh ewuh pakewuh dengan kondisi dan permasalahan yang mungkin terjadi di dalam Kraton,” ungkapnya.

Sikap ewuh pakewuh tersebut, masih menurut Romo Tirun yang sebenarnya saat ini menjadi penghalang pada nalar masyarakat yang baik. Masyarakat tidak mampu berbuat banyak dan membantu Kraton karena sudah memiliki anggapan bahwa mereka harus mau menerima dan ikhlas dengan apa yang diputuskan oleh Kraton. Untuk itulah dirinya kembali menegaskan pada masyarakat Yogyakarta untuk tidak bersikap seperti itu, agar masyarakat Yogyakarta juga bisa ikut menjaga Kasultanan Yogyakarta dan Paugeran asli yang sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwo yang pertama.

Hal yang senada juga disampaikan Arif Noor Hartanto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Paugeran Kraton Yogyakarta yang mengatur internal Kasultanan Yogyakarta dan suksesi Kasultanan tidak akan bisa dengan mudah diubah. Karena paugeran di Kraton Yogyakarta tersebut sudah menyatu dengan hukum formal dan ranah publik.

“Dengan adanya Undang-Undang Keistimewaan DIY, wilayah internal kraton yang diatur dengan paugeran dengan hukum formal yang diatur UUD 1945 itu sudah menjadi satu. UUK mengintegrasikan kedua wilayah tersebut, sehingga tidak ada lagi wilayah internal absolut. Oleh sebab itu, jika paugeran itu berubah, maka harus disampaikan dulu pada publik bagaimana paugeran sebelumnya dan bagaimana perubahannya. Apakah masyarakat Yogyakarta setuju dengan perubahan tersebut. Sementara paugeran itu sendiri sudah menjadi syarat bagi adanya UUK DIY, khususnya dalam hal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta yang bisa langsung diangkat dari Kasultanan dan atau Kadipaten Pakualaman,” jelasnya.

Arif mengatakan, sebelum adanya UUK DIY, masyarakat DIY masih memiliki hak politik untuk bisa memilih dan dipilih dalam mengisi jabatan publik, termasuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Namun, setelah adanya UUK tersebut, hak politik warga DIY dalam hal pengisian jabatan publik, khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur sudah tidak berlaku lagi. “Masyarakat memang sepakat kalau hak politiknya terkurangi oleh UUK. Namun, kita sebagai masyarakat Yogyakarta bukan seperti memberi “cek kosong”, tetapi ada syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Kasultanan Yogyakarta. Persyaratan tersebut adalah dengan ditegakkannya Paugeran Kraton/Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dalam hal regenerasi/suksesi kepemimpinan. Dan dalam paugeran yang asli, Sultan itu ya memang yang sudah sejak lahir berjenis kelamin laki-laki,” paparnya.

Namun, yang perlu ditegaskan lagi menurut Arif adalah, UUK tidak akan pernah menghalangi roda kepemerintahan daerah di DIY. Karena DIY sendiri selain memiliki UUK juga bersandar pada UUD 1945 yang menjadi dasar tetapnya. Maka dari itu, menurut Arif, jikalau seandainya polemik yang terjadi di Kraton Yogyakarta itu masih belum selesai, jalannya kepemerintahan DIY tidak akan terhalangi sama sekali. “Inilah yang seharusnya kita yakini bersama. Kalaupun pada suatu ketika DIY belum memiliki gubernur karena hal-hal tertentu, kita masih memiliki wakil gubernur. Tapi jika ternyata wakil gubernurnya juga tidak ada, kita masih bisa menunjuk pelaksana tugas sebagai gubernur DIY, baik itu dari kalangan pemerintahan atau kraton,” jelasnya.

Adanya UUK DIY tersebut, lanjut Arif, sebenarnya juga merupakan alat untuk melihat apa yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Dinamika-dinamika yang terjadi di Kraton dan tidak sesuai dengan UUK DIY harus disingkirkan. “Dan yang perlu ditegaskan lagi itu adalah, bagaimana nasib dari akrobat internal itu? UUK itu tidak akan berubah, karena itu adalah alat untuk melihat apa yang terjadi. Kalau ada yang salah harus diluruskan dan dibenahi dengan UUK itu. Karena itu, marilah kita selamatkan UUK ini, karena kita saat ini juga sedang diperhatikan oleh Kementerian Dalam Negeri, mampu tidak kita menerapkan UUK di DIY ini. Tapi kita juga harus tetap melaksanakan UUK ini secara murni dan konsekuen,” imbuhnya.

Sementara itu, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Eko Priyo Purnomo., SIP., M.Si., M.Res., PhD dan Dian Eka Rahmawati, M.Si beserta timnya menunjukkan bahwa suksesi kepemimpinan Kasultanan Yogyakarta tidak bisa lagi hanya dilihat sebagai suksesi internal, tapi sudah menjadi suksesi kepemimpinan Kepala Daerah (Gubernur). Hal tersebut juga didukung dengan hasil survei pada tiga pertanyaan utama, yaitu pendapat responden terhadap Sultan sebagai Gubernur DIY sebanyak 91,3 persen responden sangat mendukung Sultan sebagai Gubernur, dukungan tertinggi ada di Kabupaten Gunung Kidul dengan jumlah persentase 98,7 persen, dan dukungan terendah ada di Kabupaten Bantul yakni 86,7 persen.

Kemudian, untuk pertanyaan kedua, lanjut Dian adalah mengenai polemik yang beredar saat ini di masyarakat, perempuan sebagai Pemimpin Kasultanan. Responden yang setuju sebanyak 35,2 persen, tidak setuju 43,1 persen, dan ragu-ragu atau tidak tahu 21,7 persen. Untuk Kabupaten kota yang paling tinggi dukungannya bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin Kasultanan, berada di kabupaten Sleman dengan 55,9 persen. Sementara di Gunung Kidul hanya 24 persen. “Dan pertanyaan ketiga mengenai calon pengganti Sultan HB X. Responden yang setuju jika penggantinya anak perempuannya sebanyak 30,2 persen. Kemudian yang setuju adik Sultan HB X yang menjadi penggantinya ada 35,9 persen, dan yang ragu-ragu atau tidak tahu ada 33,9 persen,” paparnya.

Penelitian tersebut imbuh Dian dilakukan karena berdasarkan pada adanya permasalahan terkait Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta No. 13/2012 yang secara spesifik menyebutkan bahwa salah satu syarat calon Gubernur DIY adalah bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono. Di sisi lain, Gubernur juga merupakan jabatan publik dan harus diawasi oleh publik. Tapi setelah adanya Sabda Raja pada 30 April dan 5 Mei 2015 yang lalu, kemudian muncul polemik di DIY yang memperbincangkan siapa yang akan menjadi penerus tahta di Keraton Jogja, dan yang menjadi menariknya lagi karena menyangkut jabatan publik ‘Gubernur’.

“Metode penelitiannya menggunakan metode penelitian Survey, dengan metode Iteratif 2 tahap dengan tingkat kesalahan 5 persen, dan tingkat kepercayaan responden 95 persen. Penelitian ini melibatkan 460 responden, menggunakan cluster area random sampling dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling. Dan penelitian ini dilaksanakan selama lima hari, yakni pada 10 hingga 15 Mei 2015” tutupnya. (sakinah)