Sarana yang terbatas memicu seseorang berpikir strategis. Dengan sarana yang terbatas, secara otomatis kita pun akan menentukan tujuan yang terbatas. Di luar hal tersebut, seseorang akan membangun perencanaan yang matang, karena mengetahui bahwa segalanya serba terbatas. Kuncinya adalah perencanaan, kepemimpinan, dan strategi. Perencanaan strategis ini membuat pemimpin mampu membawa situasi ke arah yang lebih baik.
Hal tersebut disampaikan oleh Husni Amriyanto, S.IP, M.Si, saat menjadi pemateri dalam Diskusi “Perencanaan dan Kepemimpinan Strategis : Teori dan Praktik” dalam acara Pelatihan Bagi Para Manajer di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (25/1), bertempat di Kampus Terpadu UMY.
Husni menjelaskan, saat ini sedang terjadi krisis kepemimpinan. “Saat ini di Indonesia sedang terjadi krisis kepemimpinan. Seharusnya strategi kepemimpinan strategis dapat diterapkan oleh para pemimpin, sehingga mereka bisa membawa lembaganya ke arah yang lebih baik. Kalau segala sesuatu dilakukan dengan sarana yang melimpah, siapa saja bisa. Seharusnya pemimpin mampu mengelola sarana yang terbatas untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin semacam inilah yang ideal,” ujarnya.
Dalam mengimplementasikan kepemimpinan yang strategis, lebih lanjut Husni menjelaskan, ada beberapa kendala yang muncul saat ini. “Problematika kepemimpinan strategis seringkali berupa krisis moral dan integritas, demoralisasi pemimpin, menguatnya budaya feodalisme, dan praktik-praktik koruptif yang sistematis dan sinergis. Selain itu, pemimpin yang sombong, serakah, memiliki kegersangan spiritual, dan mengabaikan keluarga, juga menjadikan kepemimpinan tidak efektif,” lanjut Husni.
Menurut Husni, kepemimpinan yang strategis harus memiliki basis dan orientasi. “Kepemimpinan strategis harus berbasis pada integritas moral, kompetensi akademis dan skill, visi untuk maju, tradisi keluarga, serta pengalaman. Dengan berbasis pada hal-hal tersebut, maka pemimpin dapat membawa perwujudan tindakan yang membawa rahmat bagi semua pihak,” ungkapnya.
Sarana yang terbatas memicu seseorang berpikir strategis. Dengan sarana yang terbatas, secara otomatis kita pun akan menentukan tujuan yang terbatas. Di luar hal tersebut, seseorang akan membangun perencanaan yang matang, karena mengetahui bahwa segalanya serba terbatas. Kuncinya adalah perencanaan, kepemimpinan, dan strategi. Perencanaan strategis ini membuat pemimpin mampu membawa situasi ke arah yang lebih baik.
Hal tersebut disampaikan oleh Husni Amriyanto, S.IP, M.Si, saat menjadi pemateri dalam Diskusi “Perencanaan dan Kepemimpinan Strategis : Teori dan Praktik” dalam acara Pelatihan Bagi Para Manajer di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (25/1), bertempat di Kampus Terpadu UMY.
Husni menjelaskan, saat ini sedang terjadi krisis kepemimpinan. “Saat ini di Indonesia sedang terjadi krisis kepemimpinan. Seharusnya strategi kepemimpinan strategis dapat diterapkan oleh para pemimpin, sehingga mereka bisa membawa lembaganya ke arah yang lebih baik. Kalau segala sesuatu dilakukan dengan sarana yang melimpah, siapa saja bisa. Seharusnya pemimpin mampu mengelola sarana yang terbatas untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin semacam inilah yang ideal,” ujarnya.
Dalam mengimplementasikan kepemimpinan yang strategis, lebih lanjut Husni menjelaskan, ada beberapa kendala yang muncul saat ini. “Problematika kepemimpinan strategis seringkali berupa krisis moral dan integritas, demoralisasi pemimpin, menguatnya budaya feodalisme, dan praktik-praktik koruptif yang sistematis dan sinergis. Selain itu, pemimpin yang sombong, serakah, memiliki kegersangan spiritual, dan mengabaikan keluarga, juga menjadikan kepemimpinan tidak efektif,” lanjut Husni.
Menurut Husni, kepemimpinan yang strategis harus memiliki basis dan orientasi. “Kepemimpinan strategis harus berbasis pada integritas moral, kompetensi akademis dan skill, visi untuk maju, tradisi keluarga, serta pengalaman. Dengan berbasis pada hal-hal tersebut, maka pemimpin dapat membawa perwujudan tindakan yang membawa rahmat bagi semua pihak,” ungkapnya.(intan)