Membangun framework tentang perdamaian perlu dilakukan dengan melakukan dialog bersama kalangan dari beragam latar belakang. Dengan demikian, pesan perdamaian akan semakin tersampaikan ke penjuru luas dunia. Mengangkat isu perdamaian, Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5 tahun ini diikuti oleh 36 peserta dari sebelas negara.
Kesebelas negara tersebut adalah Uzbekistan, Filipina, Malaysia, Yaman, United Kingdom, Bangladesh, Uganda, India, Polandia, Indonesia dan Thailand. Para peserta MGPS 5 mengaku sangat antusias dalam program kerjasama UMY dengan PGPF (Perdana Global Peace Foundation), yang berlangsung selama 10 hari tersebut. Berikut beberapa pendapat peserta saat diwawancarai pada Selasa (29/11).
Hazel Jovita, peserta asal negara Filipina yang saat ini tengah menempuh studi program Doktor di UMY mengungkapkan progam MGPS 5 yang mengangkat isu perdamaian, sesuai dengan latar belakang studi ilmu politik yang ia ambil. Sedangkan di negara asalnya sendiri, isu perdamaian juga menjadi topik yang sangat umum karena beberapa konflik masih terjadi di Filipina.
“Program ini juga menarik karena para peserta berasal dari beragam negara dengan latar belakang yang juga berbeda, sehingga dalam setiap diskusi akan membuat pandangan kita semakin meluas. Karena para peserta cenderung akan menyampaikan pendapat mereka sesuai dengan latar belakang budaya, agama, dan nilai-nilai yang berbeda sesuai dengan latar belakang negaranya,” terang Hazel.
Setelah MGPS 5 berakhir, Hazel berencana untuk segera menyelesaikan studi dan disertasinya, kemudian kembali ke Filipina. Di sana ia bermaksud membuat forum yang mirip dengan MGPS yang juga mengangkat perdamaian sebagai topik utama.
Sementara itu, Imdad H. Shezad, seorang jurnalis asal Inggris yang bekerja di World Peace Ambassador mengungkapkan bahwa program MGPS akan sangat membantu masyarakat yang ingin membangun harmoni dan toleransi. Keberagaman peserta dari berbagai negara juga dinilai Imdad sebagai salah satu poin plus dalam penyebaran nilai-nilai perdamaian ke seluruh pelosok dunia.
“Selain isu perdamaian, pada tema MGPS kali ini membahas worldwide education, sebagai perannya dalam menciptakan perdamaian. Sehingga para peserta dapat saling berdialog untuk pendidikan yang lebih baik. Dan setelah program ini selesai, saya ingin menyebarkan pesan bahwa setiap manusia membutuhkan perdamaian. Dan saya juga ingin melakukan interfaith dialog, dan menyebarkan ilmu yang sudah saya serap selama program kepada masyarakat,” tegas Imdad.
Sedangkan Sarihan Ayae, mahasiswi asal Thailand berpendapat bahwa dengan menumbuhkan nilai-nilai perdamaian, para peserta MGPS akan semakin tergugah untuk menolong sesama manusia yang berada di daerah konflik. “Sebagai seorang muslim sendiri, kita harus bisa berfikir untuk menolong muslim lainnya, seperti yang tengah terjadi pada Muslim Rohingya di Myanmar. Dan selama program ini kita harus dapat mendalami pemahaman agama lain tentang konsep perdamaian itu sendiri,” ujar Sarihan. (deansa)