Berita

Sekilas Tentang Batas Timur Negara

Sekilas Tentang Batas Timur Negara

Oleh : Fajar Bayu Nugroho

Mahasiswa Program Profesi Insinyur UMY

Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat luar biasa. Negara kepulauan dengan berbagai jenis suku, ras, budaya serta agamanya. Tak hanya itu, negara ini juga memiliki empat titik batas yang sering disebut sebagai Sabang, Merauke, Mianggas dan Pulau Rote. Tumbuh berkembang di negara ini tentu menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi kita.

Dalam kesempatan kali ini saya akan berbagi cerita mengenai batas negara yang sering kita kenal dengan sebutan Merauke. Tanah timur negara Indonesia dengan sejuta kekayaan alamnya.

November 2020 perjalanan dimulai dari Bogor menuju bandara internasional Soekarno-Hatta (CGK). Menggunakan transportasi udara yang akan memakan waktu kurang lebih enam jam penerbangan menuju bandara Sentani (DJJ) Jayapura kemudian satu jam menuju bandara Mopah (MKQ) Merauke, perubahan waktu WIB ke WIT. Setelah sekian bulan semua kegiatan terhenti akhirnya banyak manusia mulai berusaha bisa dan berteman dengan virus Covid-19. Menjalankan kegiatan namun tetap harus mematuhi protokol kesehatan.

Setelah menempuh perjalanan udara, perjalanan berlanjut dengan menggunakan mobil untuk mencapai antar kabupaten dengan medan yang cukup sulit. Tidak hanya itu, untuk menuju kampung yang belum banyak terakses kendaraan bermotor, jalur sungai pun kita tempuh. Menggunakan kapal kayu sembari terus menyusuri sungai untuk bisa sampai ke kampung yang dituju. Dengan senyum dan kata mari, bapa mama penduduk kampung menyambut kedatangan tim kami dengan hangat.

Perjalanan dari Asiki distrik Jair menempuh waktu kurang lebih satu hari satu malam menggunakan kapal kayu. Kapal kayu yang ditumpangi lima puluhan orang lebih ini membawa kami membelah sungai Digoel hingga larut malam. Karena lamanya perjalanan, kami pun memutuskan untuk transit dan bermalam di pelabuhan Bade distrik atau kecamatan Edera kabupaten Mappi.

Pada kesempatan itu, kami habiskan dengan bercerita bersama awak kapal. Menceritakan tentang perjalanan yang harus kami tempuh dari Bogor hingga sampai ke kabuapetn Mappi. Ditemani kopi dan permainan domino para awak kapal, kami asyik bercengkrama bersama. Hingga saat gerimis membubarkan tongkrongan tak terasa mentari menyapa dan kami harus segera melanjutkan perjalan ke Mur.
Sampai di Distrik Nambioman Bapai kampung Mur, hari itu, Sepuluh November tahun 2020 merupakan hari pahlawan Nasional. Dari tempat tinggal sementara, berjarak lima rumah ke arah timur ada sebuah sekolah menengah pertama yang melaksanakan upacara bendera untuk memperingati hari pahlawan. Merah putih yang dibentangkan tidak ada beda, persis sama dengan bendera-bendera yang kita kibarkan di seluruh Nusantara. Sikap tegap seorang pemimpin upacara dari generasi kuat Indonesia timur penjaga batas identitas bangsa terlihat dalam ritual upacara bendera saat itu.

Sesampainya di kampong Mur, kami melanjutkan perjalanan menuju Gayu dengan waktu tempuh kurang lebih sepuluh jam dengan menggunakan perahu kayu dengan mesin yang mereka sebut dengan Belang. Perjalanan melalui air ini harus kami tempuh kembali karena akses darat yang belum bisa dilewati kendaraan. Keberangkatan tepat pukul empat sore Waktu Indonesia Timur, menyusuri sungai Mappi yang masih menjadikan alur utama perjalanan antar daerah di Papua Selatan. Tanah yang menyediakan sumber pangan melimpah dari batas yang harus kita jaga. Kita kembangkan bukan kita kurangkan.

Tepat pukul tiga pagi kami sampai di kampung Gayu distrik Passue. Tidur dalam Belang dengan atap angkasa berhias bintang malam dan alas air sungai bukan lagi menjadi hal asing bagi kami. Nyanyian nina bobo hewan malam juga telah menjadi teman perjalanan.

Mentari pagi kampung Gayu yang cerah di hari minggu untuk mereka beribadah. Sebagian barang masih berada di atas belang semalam, berjalan untuk mengambil salah satu barang pribadi ditemani Gray dan Eric. Anak timur yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Dalam perjalanan menuju belang, saya mencoba berbicara dengan keduanya, menanyakan apa aktivitas mereka di pagi hari. “Saya dari mandi pagi kaka,” jawab Gray. Saya pun menimpali jawaban Gray, “Bagus, sudah segar sekarang eh?”

Mereka berdua adalah dua mutiara timur diantara yang lain. Mereka yang nantinya menjaga batas timur matahari negara Indonesia. Bermain bersama teman sebayanya di sekitar gereja tua kampung Gayu tanpa ada pemisah alat modern. Mereka bermain menggunakan bahan alam yang ada di sekitar. Canda tawa pagi hari yang menjadi suguhan epik perjalanan kali ini.

Bertemu Hendrikus

Setelah puas bercengkrama dan bersenda gurau dengan anak-anak kampung Gayu, kami melanjutkan perjalanan dan observasi di salah satu lahan cocok tanam penduduk Gayu. Bapak Hendrikus, begitu kami memanggilnya. Ia adalah salah seorang penduduk Gayu yang mengelola lahan bercocok tanam di hutan Papua.

Mengelola lahan bercocok tanam di hutan sudah menjadi adat istiadat penduduk Papua, begitu pula bagi Hendrikus dan penduduk Gayu lainnya. Pesan tersirat tentang tanam menanam juga selalu disampaikan secara turun temurun oleh masyarakat Gayu. “Bukan kitong makan tapi bisa anak cucu rasa.” Begitulah pesan yang disampaikan Hendrikus kepada kami.

Untuk bisa mencapai lahan cocok tanam yang dikelola Hendrikus, kami harus menembus hutan papua yang dihiasi dengan rimbunnya tanaman dan jernihnya air sungai. Hutan yang masih perawan ini sungguh memiliki pesona yang sangat luar biasa. Hutan terbaik adalah hutan yang dikelola dengan baik dan cara pengelolaan hutan terbaik adalah dengan tidak dikelola, seperti yang sering dikatakan.

Masyarakat menjadikan hutan sebagai teman hidup berdampingan untuk kesejahteraan mereka. Di kampung Gayu terdapat satu bangunan sederhana puskesmas, satu bangunan sekolah dasar dan satu bangunan kantor desa. Kendaraan bermotor bentuk apapun belum ada di kampung ini apalagi mobil besi beroda empat atau beroda delapan. Udara segar di setiap waktu pun bisa kita hirup. Akses utama mereka adalah sungai dengan kapal-kapal kayunya dan jalan kaki. Perjalanan yang mereka tempuh bahkan bisa puluhan kilometer untuk menuju tempat-tempat yang mereka ingin datangi.

Di samping semua itu, dalam lelah mereka menjalani hidup terdapat kebiasaan sehat yang tidak perlu untuk disarankan lagi. Kerjasama mereka juga sangat luar biasa, solidaritas yang dibentuk dari kebiasaan tanpa penghalang jaringan atau ponsel-ponsel canggih di era dua ribuan. Yang saya lihat justru komunikasi itu masih terjalin secara nyata, tidak sibuk masing-masing. Bukan berarti adanya kecanggihan teknologi adalah sebuah keburukan, namun jangan sampai kita terlena akan perubahan zaman dan menjadikan berkurangnya rasa empati dan simpati terhadap sesama.

Perbatasan adalah hal terpenting sebagai fondasi label sebuah negara. Apabila negara dapat mengelola dan menjaga perbatasan dengan kuat, maka negara tersebut tentu akan menjadi sebuah negara yang luar biasa dan disegani oleh negara-negara lain.

 

Fajar Bayu Nugroho, 31 Desember 2020