Berita

Seminar “Revitalisasi Pergerakan Mahasiswa”

Tranformasi sosial di era sekarang ini berjalan semakin cepat dari masa ke masa. Hal ini salah satunya mengakibatkan berbagai fenomena dalam dunia kemahasiswaan yang cenderung negatif. Dalam menghadapi situasi dilematis ini, perlu dilakukan beberapa upaya sebagai kiat merevitalisasi fungsi dan peran gerakan mahasiswa.

Demikian Disampaikan Said Tuhuleley, Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MPM PP Muhammadiyah) dalam Seminar bertajuk “Revitalisasi Pergerakan Mahasiswa”, Selasa (8/3) di Ruang Sidang Lantai 5 Gedung AR Fahrudin B Kampus Terpadu Universritas Muhammadiyah Yogykarta (UMY). Seminar tersebut diselenggarakan dalam rangkaian Pertemuan Silaturahmi Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Silatnas BEM PTM) yang diadakan sejak Senin (7/3) lalu.

Menurut Said, salah satu persoalan besar yang muncul dalam hubungan dan keterwakilan masyarakat saat ini adalah terjadinya Intoleransi sosial. Sikap yang berkembang di masyarakat adalah sikap ekslusif primordialis. Hal ini juga berarti munculmya gejala kurang dihargainya lagi perbedaan antar manusia maupun antar kelompok di masyarakat. Selain itu degradasi wawasan kemanusiaan menjadi persoalan lain di mana kekerasan terjadi bahkan menjadi ciri manusia modern.

Setidaknya ada beberapa fenomena yang disebutkan Said dalam penjelasannya di depan perwakilan-perwakilan BEM PTM se-Indonesia ini. Yang pertama adalan degradasi struktur sosial mahasiswa di mana perubahan dalam dunia mahasiswa menempatkan mahasiswa tidak lagi berada dalam puncak “stupa” masyarakat. “Mahasiswa bukan lagi elite paling terdidik. Di zaman kolonial, posisi mahasiswa tidak seperti ini”, ujar lulusan IKIP Negeri Yogyakarta yang saat ini bekerja sebagai Dosen Fakultas Agama Islam UMY ini.

Berubahnya fungsi partai-partai politik yang cenderung hanya menjadi “Syarikat Dagang Politik” menurut Said merupakan latar belakang melemahnya lembaga-lembaga artikulasi. Lembaga-lembaga ini tidak lagi dapat memberikan pengaruhnya dalam menyatakan kehendak rakyat. Fenomena lain yang timbul adalah menyempitnya pengertian pemuda. “Saat orang-orang menyebut gerakan mahasiswa, tidak selaras jika disamakan dengan pengertian gerakan pemuda. Ini sebagai gejala kea rah elitisme” terangnya

Melemahnya sumber rekrutmen kader mahasiswa yang berkualitas merupakan problematika lain yang sulit dipecahkan. Hal ini tidak diimbangi dengan penyebutan Ketua BEM sebagai Presiden yang justru berkembang kea rah yang berlebihan. Upaya desakralisasi ini menurut Said jusrtu dapat menimbulkan kesan bahwa lembaga kemahasiswaan intra universiter hanya sekedar lembaga main-main.

Pada akhirnya Said berpendapat bahwa penataan kembali organisasi mahasiswa sangat perlu dilakukan. Penataan ini menurutnya menuntut organisasi mahaiswa kembali ke kesan sederhana, wajar, dan mudah diakses, salah satunya dengan mengurangi pengadopsian istilah kenegaraan seperti penyebutan Ketua menjadi presiden tadi. Said juga tidak menilai posisi Unit Kegiatan Mahasiswa saat ini sebagai hal efektif. “Jangan ada negara dalam negara, harus ada kesatuan organisasi yang lebih sederhana” jelas pengasuh Pesantren Budi Mulia ini.

Selain Said, turut menjadi narasumber dalam seminar ini Eko Prasetyo, seorang peneliti dan penulis buku, serta Zain Maulana, Staff Institute of International Studies UGM. Silatnas BEM PTM ini sendiri dihadiri sekitar 180 mahasiswa perwakilan dari lebi 60 PYM se-Indonesia.