Berita

Seminar Serial Bulanan Jusuf Kalla School of Government

Konflik di Ambon pada 19 Januari 1999 sampai tahun 2011 merupakan peristiwa yang sangat memilukan sekaligus menjadi catatan kelam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Konflik berdarah itu diawali dengan perkelahian antara pemuda dari Batu Merah dengan pemuda asal Mardika. (Laporan Team Pencari Fakta Konflik Maluku, 2002) Namun karena sebab-sebab yang tidak sepenuhnya dimengerti masyarakat setempat, maka konflik itu kemudian meluas hingga mengundang aksi-aksi yang tidak biasa. Aksi pembunuhan, pembakaran rumah dan tempat ibadah, hingga pengrusakan fasilitas umum secara jelas diperagakan oleh mereka yang terlibat di dalam konflik. Itu adalah fenomena yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan dua karakter konflik yang ada di Ambon dan Pulau-Pulau Maluku. Perspektif pertama menyatakan telah terjadi konflik antara pihak sipil versus sipil. Masyarakat berhadapan dengan masyarakat sipil yang dimulai dari persoalan sepele, yakni perkelahian antar warga masyarakat sipil kemudian konflik menjadi besar dan merebak  hampir seluruh wilayah Pulau Ambon. Konflik sipil versus sipil menjadi trend dalam sepuluh tahun terakhir di nusantara dari Sabang sampai Merauke, termasuk Ambon.

Persepktif kedua, adalah perspektif yang menempatkan terjadinya konflik sipil versus elit politik termasuk didalamnya adalah TNI/Tentara Nasional Indonesia yang berada di Jakarta, dan Ambon serta daerah lain. Tetapi karena terjadinya perbedaan kepentingan dalam tubuh TNI, maka sebagian dari anggota TNI melakukan “provokasi” atas daerah-dearah tertentu yang rawan konflik untuk tempat jenjang kenaikan pangkat para perwira yang masih belum mencapai tingkat tinggi seperti Jendral Bintang Dua , Tiga sampai jendral Penuh-Bintang Empat. Ambon, Papua, Aceh, Maluku Utara adalah tempat yan gsrtategis untuk kenaikan pangkat tersebut sebab di daerah tersebut memiliki potensi konflik yang kuat sementara TNI dapat hadir disana dalam “dua kaki”, sebagai pendamai konflik sekaligus sebagai provokator yang akhirnya bertugas mengamankan wilayah konflik tersebut.

Sebagai tanggung jawab bersama dalam menjaga perdamaian di Ambon dan sekitarnya, beberapa intervensi menjadi hal yang penting dilakukan. Tetapi intervensi haru memiliki perspektif yang manusiawi tidak hanya mengedepankan masalah ekonomi dan stabilitas. Stabilitas politik dan stabilitas ekonomi memang suatu yang penting, tetapi persoalan keadilan sosial merupakan hal yang juga sangat penting diperhatikan. Dalam kaitan dengan masalah pembangunan perdamaian ke depan di Ambon dan menjaga kondisi kondusif, ada beberapa hal yang dapat dikerjakan.

Dalam masalah pembangunan daerah agar Ambon menjadi daerah damai maka pembangunan ekonomi harus dibarengi dengan pembangunan sosial. Pembangunan tidak hanya memerhatikan aspek pertumbuhan ekonomi atau technical economy tetapi juga memerhatikan soal pembangunan sosial yang merupakan cirri khas pembangunan manusia (social engineering) sebagai basis dari terjadinya komunikasi antara warga Negara dan pertumbuhan kesadaran sosial. (Pariela, 2008: 42)

Mendasarkan pada pandangan tentang konflik dan intervensi yang dilakukan maka intervensi terhadap konflik harus dilakukan secara konprehensif dan sinergis antara berbagai pihak. Tidak bisa hanya menyerahkan kepada aparat keamanan. Aparat keamanan diberi tugas saat kondisi konflik terjadi karena hal itu merupakan tugas Negara. Menjaga dan mempertahankan situasi kondusif juga harus dilakukan oleh masyarakat sipil, masyarakat adat sekaligus lembaga adat, institusi dan tokoh agama, aparat keamanan (polisi), penegak hukum dan tokoh masyarakat apakah pemuda atau tokoh perempuan. Disitulah intervensi terhadap konflik dan menjaga perdamaian harus berjalan secara komprehensif dan bersinegis sehingga ketidakadilan hukum, kekurang pahaman antar berbagai pihak dapat dijembatani dengan social capital yang dimiliki masyarakat lokal dalam hal ini masyarakat Ambon.

Melihat dinamika konflik di Ambon yang cenderung manifes kembali belakangan ini, menjadi sangat menarik untuk mendiskusikan masa depan perdamaian di Ambon dari perspektif Govenance dan manajemen konflik, yaitu sejauh mana dan dalam hal apa intervensi pemerintah perlu dilakukan sehingga kapasitas perdamaian di Ambon dapat kembali ditegakkan, agar jalinan relasi sosial masyarakat yang sempat tercabik dapat kembali berjalin, sehingga aktivitas pemerintahan dan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan lancer.

Itulah pokok-pokok kajian yang akan menjadi bahasan dalam seminar serial bulanan (Monthly Seminar Series) yang digelar oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada hari Selasa 18 Oktober 2011, bertempat di Ruang Kuliah Pasca Sarjana, Gd. AR Fachruddin A lantai 4 mulai jam 12.00 hingga selesai. Pembicara pada seri kali ini adalah Dr. Zuly Qodir, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY yang akan mempresentasikan temuan-temuan terbaru dari riset tentang konflik di Ambon yang dilakukannya sebagai pemantik diskusi dalam seminar kali ini. Direncanakan seminar serial bulanan ini akan menjadi agenda rutin dari JKSG, dan akan menghadirkan pembicara dengan kompetensi sesuai dengan topik seminar yang akan diselenggarakan.