Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di semua negara. Sekitar satu juta orang melakukannya di seluruh dunia pada tahun 2000. Setiap 40 detik, seseorang melakukan tindak bunuh diri di suatu tempat di dunia, sementara setiap tiga detik seseorang mencoba untuk mati. Pada saat yang sama, tindakan tersebut memberikan dampak yang serius pada sedikitnya enam orang lainnya.
Demikian disampaikan Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Warih Andan Puspitosari, SpKJ dalam diskusi “Depresi dan bunuh diri”, di Kampus Terpadu, Sabtu (14/8).
Menurutnya, bunuh diri merupakan masalah kompleks tanpa satu penyebab dan alasan tunggal. “Bunuh diri merupakan hasil interaksi yang rumit antara faktor biologis, genetis, psikologis, sosial, kultural, dan lingkungan. Oleh karenanya, sangat sulit dijelaskan mengapa sebagian orang melakukan tindak bunuh diri sementara sebagian orang yang memiliki masalah serupa bahkan lebih buruk tidak melakukannya,” jelas Warih.
Meski demikian Warih mengungkapkan, hilangnya harapan atau keputusasaan menjadi faktor terbesar yang memunculkan keinginan untuk bunuh diri, terlebih bagi penderita depresi berat. Lebih lanjut, Ia mengatakan depresi adalah diagnosis yang paling umum dalam tindak bunuh diri. Setiap orang merasa depresi, sedih, kesepian dan tidak stabil dari waktu ke waktu, namun biasanya perasaan tersebut akan berlalu. “Namun bila perasaan itu menetap dan menggangu kehidupan normal seseorang, mereka berhenti mengalami perasaan depresi dan kondisi tersebut berubah menjadi penyakit depresi,” urainya.
Secara umum, gejala depresi meliputi perasaan sedih hampir sepanjang hari setiap harinya, hilangnya minat terhadap aktivitas yang biasa dilakukannya, berat bdana berkurang atau sebaliknya bertambah, tidur telalu banyak atau sedikit atau terbangun terlalu dini, merasa lelah dan lemah sepanjang waktu, merasa tidak berguna, lekas marah atau gelisah, sulit berkonsentrasi, mengambil keputusan, mengingat sesuatu, dan memiliki pemikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri.
Sayangnya penyakit depresi ini sering tidak terdiagnosa meskipun berbagai macam pengobatan tersedia. Hal ini, diakui Warih, karena seseorang biasanya malu mengakui jika ia depresi karena menganggap gejalanya sebagai tanda kelemahan. “Selain itu, mereka umumnya juga datang dengan bermacam rasa sakit dan nyeri yang samar,” terangnya.
Warih memaparkan sebagian kasus bunuh diri dapat dicegah karena sebagian penderita depresi umumnya memberikan peringatan berupa keluhan seperti “ rasanya hidup sangat berat”, “tak kuat lagi menanggung beban”, “tidak kuat menjalani kehidupan”, dll.
“Jika keluhan itu muncul, orang yang ada di sekitarnya harus tanggap dan memberikan dukungan agar kasus bunuh diri tidak terjadi. Keluarga dan masyarakat sangat penting untuk memahami hal itu karena merekalah yang berada paling dekat dengan penderita. Dengan demikian kasus bunuh diri dapat dicegah,” tutur Warih.
Dalam hal ini, pemerintah atau tenaga kesehatan, termasuk media massa memiliki kewajiban untuk mengedukasi, mengenali, dan mendampingi masyarakat sebagai dukungan sosial yang efektif. Media massa bisa menjadi sarana edukasi efektif bagi masyarakat agar mereka tidak terstigma dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa tak hanya identik dengan gila.“Gangguan jiwa ringan dan sedang banyak dijumpai di masyarakat, namun seringkali mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan,” imbuh Warih.
Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di semua negara. Sekitar satu juta orang melakukannya di seluruh dunia pada tahun 2000. Setiap 40 detik, seseorang melakukan tindak bunuh diri di suatu tempat di dunia, sementara setiap tiga detik seseorang mencoba untuk mati. Pada saat yang sama, tindakan tersebut memberikan dampak yang serius pada sedikitnya enam orang lainnya.
Demikian disampaikan Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Warih Andan Puspitosari, SpKJ dalam diskusi “Depresi dan bunuh diri”, di Kampus Terpadu, Sabtu (14/8).
Menurutnya, bunuh diri merupakan masalah kompleks tanpa satu penyebab dan alasan tunggal. “Bunuh diri merupakan hasil interaksi yang rumit antara faktor biologis, genetis, psikologis, sosial, kultural, dan lingkungan. Oleh karenanya, sangat sulit dijelaskan mengapa sebagian orang melakukan tindak bunuh diri sementara sebagian orang yang memiliki masalah serupa bahkan lebih buruk tidak melakukannya,” jelas Warih.
Meski demikian Warih mengungkapkan, hilangnya harapan atau keputusasaan menjadi faktor terbesar yang memunculkan keinginan untuk bunuh diri, terlebih bagi penderita depresi berat. Lebih lanjut, Ia mengatakan depresi adalah diagnosis yang paling umum dalam tindak bunuh diri. Setiap orang merasa depresi, sedih, kesepian dan tidak stabil dari waktu ke waktu, namun biasanya perasaan tersebut akan berlalu. “Namun bila perasaan itu menetap dan menggangu kehidupan normal seseorang, mereka berhenti mengalami perasaan depresi dan kondisi tersebut berubah menjadi penyakit depresi,” urainya.
Secara umum, gejala depresi meliputi perasaan sedih hampir sepanjang hari setiap harinya, hilangnya minat terhadap aktivitas yang biasa dilakukannya, berat bdana berkurang atau sebaliknya bertambah, tidur telalu banyak atau sedikit atau terbangun terlalu dini, merasa lelah dan lemah sepanjang waktu, merasa tidak berguna, lekas marah atau gelisah, sulit berkonsentrasi, mengambil keputusan, mengingat sesuatu, dan memiliki pemikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri.
Sayangnya penyakit depresi ini sering tidak terdiagnosa meskipun berbagai macam pengobatan tersedia. Hal ini, diakui Warih, karena seseorang biasanya malu mengakui jika ia depresi karena menganggap gejalanya sebagai tanda kelemahan. “Selain itu, mereka umumnya juga datang dengan bermacam rasa sakit dan nyeri yang samar,” terangnya.
Warih memaparkan sebagian kasus bunuh diri dapat dicegah karena sebagian penderita depresi umumnya memberikan peringatan berupa keluhan seperti “ rasanya hidup sangat berat”, “tak kuat lagi menanggung beban”, “tidak kuat menjalani kehidupan”, dll.
“Jika keluhan itu muncul, orang yang ada di sekitarnya harus tanggap dan memberikan dukungan agar kasus bunuh diri tidak terjadi. Keluarga dan masyarakat sangat penting untuk memahami hal itu karena merekalah yang berada paling dekat dengan penderita. Dengan demikian kasus bunuh diri dapat dicegah,” tutur Warih.
Dalam hal ini, pemerintah atau tenaga kesehatan, termasuk media massa memiliki kewajiban untuk mengedukasi, mengenali, dan mendampingi masyarakat sebagai dukungan sosial yang efektif. Media massa bisa menjadi sarana edukasi efektif bagi masyarakat agar mereka tidak terstigma dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa tak hanya identik dengan gila.“Gangguan jiwa ringan dan sedang banyak dijumpai di masyarakat, namun seringkali mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan,” imbuh Warih. dsa