Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Pemeringkatan e-Government Indonesia (PeGI) pada tahun 2015 terhadap 20 provinsi di Indonesia, hanya 12 provinsi saja yang mendapatkan predikat baik. Data tersebut menunjukkan perlu adanya pembaharuan dalam merumuskan kebijakan untuk penerapan e-government yang baik di Indonesia. Hal tersebut dipaparkan oleh Enrique B. Batara, MA, mahasiswa Program Studi Politik Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam disertasinya.
Dalam disertasinya yang berjudul Local E-Government Transformation: A Comparative Case Study of Surabaya, Indonesia and Davao, Philippines, Batara menjelaskan ada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan berkaitan dengan e-government. “Untuk mempercepat proses implementasi dari praktek e-government, aspek budaya dan sikap dari aparatur sipil negara (ASN) yang berada dalam sistem pemerintahan harus menjadi hal yang menjadi fokus dalam pembuatan kebijakan terkait,” ujar dosen Illigan Institute of Technology, Mindanaou State University, Philipines tersebut.
“Kota Surabaya merupakan salah satu kota pintar yang cukup maju di Indonesia. Ini kemudian saya bandingkan dengan kota Davao di Filipina yang juga memiliki status smart city. Dari hasil riset yang saya lakukan terhadap sikap dan budaya ASN di Surabaya, ternyata belum sesuai dengan kriteria ideal e-government,” paparnya.
Hasil riset Batara juga menemukan bahwa ada variasi dalam praktek penerapan e-government. “Ini disebabkan oleh absennya regulasi yang cukup kuat untuk mengikat dan mengatur dalam bentuk undang-undang. Akibatnya implementasi e-government kurang memiliki landasan hukum yang kuat,” jelasnya.
Selain itu hasil penelitian tersebut juga dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi internasional. Promotor berhasil mempublikasikannya di jurnal terindeks Scopus Q-1 (Rank-1), Transforming Government: People, Process and Policy Vol. 11 Issue: 4, pp.612-638. (raditia)