Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar 45. Namun, tugas MK dalam hal Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), keputusan yang dihasilkan di MK masih dipandang sebagai konflik, belum sebagai solusi. Selain itu, terdapat hambatan psikologi politik dalam membawa sengketa kewenangan konstitusional ke MK. Hal tersebut diungkapkan Prof. Denny Indrayana, selaku Pakar Hukum UGM dalam Seminar “MK dan Demokrasi : Penataan Lembaga Negara melalui Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di MK” pada Kamis (26/11) bertempat di ruang sidang FH UMY lantai 3 kampus terpadu UMY.
Diungkapkan Denny, keberhasilan peran MK dalam penataan lembaga negara melalui penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara tidak dapat dikur dengan banyak atau sedikitnya kuantitas kasus di MK, melainkan kualitasnya. “Untuk pengadilan di level Mahkamah maka kasus yang masuk untuk diadili merupakan kasus yang derajatnya merupakan constitutional issues. Sehingga, secara kuantitas memang sedikit, karena merupakan last and final effort, tidak ada forum penyelesaian lain,” ungkapnya.
Berdasarkan keputusan No 002/SKLN-IV/2006 terdapat tiga persyaratan dalam SKLN; pertama, pemohon maupun termohon harus merupakan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; Kedua, pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan kewenangan konstisuional yang dipersengketakan; dan ketiga, harus ada kewenangan konstitusional yang disengketakan oleh pemohon dan termohon, dimana kewenangan konstitusional pemohon diambil alih dan terganggu oleh tindakan termohon. “Ketiga syarat tersebut harus benar-benar dijalankan dengan sebagaimana mestinya oleh MK dalam menangani penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara,” ungkapnya.
Sekedar untuk diketahui bahwasannya SKLN merupakan sengketa kewenangan antara lembaga negara yang subjectum litis, dan objectum litis. Subjectum litis sendiri lebih dikenal sebagai pihak-pihak berpekara atau bersengketa, sedangkan objectum litis merupakan praktek hukum yang dikenal dengan istilah objek perkara atau objek sengketa, dan persoalannya merupakan kewenangan konstitusional (constitutional issues). “Masih banyak yang salah mengartikan dalam penyelesaian SKLN, terutama dalam memilah mana yang merupakan objectum litis dan subjectum litis,” ungkapnya.
Denny berharap, kedepannya MK dalam menyelesaikan SKLN untuk dapat memperluas makna objectum litis, meskipun terdapat persoalan dengan bahasa UUD 1945, yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. “Yang harus benar-benar dipahami, bahwasannya dalam mencari cara mengurangi hambatan psikologi, SKLN bukanlah konflik (problem), melainkan solusi (solusion),” tutupnya.
Seperti diketahui bersama bahwa selama ini selain mengadili constitutional issues, Mahkamah Konstitusi juga menangani kasus SKLN seperti keputusan pembubaran partai politik atau sengketa pilkada. Akan tetapi, Denny Indrayana menilai keputusan MK terhadap kasus SKLN dianggap belum demokratis, “perlu adanya perbaikan di dalam tubuh MK dalam penyelesaian SKLN”. Ungkapan ini diperkuat oleh Iwan Satriawan, S.H.,MCL, dosen Fakultas Hukum UMY, yang mengatakan bahwa hakim MK harus memiliki ketegasan, “butuh ketegasan di tubuh Mahkamah Konstitusi saat memutuskan kasus SKLN.”. Menurut Iwan ketidak tegasan hakim Mahkamah Konstitusi ini muncul karena Indonesia masih merupakan negara demokrasi baru. (adam)