Kategori kelompok minoritas di masing-masing negara memang berbeda, termasuk Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat, kelompok minoritas dari kedua negara ini sangatlah berbeda. Karena kelompok minoritas di negara Amerika Serikat adalah mereka yang berasal dari negara lain, kelas sosial yang berbeda (seperti buruh dan majikan serta pengangguran), kelompok disable, dan kelompok dengan orientasi seks yang berbeda. Sementara di Indonesia, mereka yang tergolong dalam kelompok minoritas adalah orang tua yang terlantar, orang cacat, wanita yang secara sosial ekonominya rentan, anak-anak dengan kecacatan bawaan, anak-anak terlantar di bawah lima tahun, korban kekerasan, keluarga dengan masalah sosial-psikologis, pengidap penyakit HIV & AIDS, dan korban kekerasan NAPZA.
Kemudian anak-anak yang bermasalah dengan hukum, anak jalanan, anak yang memiliki masalah sosial, anak-anak yang perlu perlindungan khusus, gelandangan, pengemis dan pemulung. Selain itu, ada juga mereka yang menjadi korban trafficking, pekerja migran yang bermasalah sosial dan korban bencana sosial. Mereka itulah yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan departemen sosial. Karena itulah, untuk menangani permasalahan yang muncul dengan banyaknya kategori kelompok minoritas tersebut memang dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Salah satunya yakni dengan Social Worker.
Demikian disampaikan Aris Suparman Wijaya, Ph.D selaku pembicara dalam kuliah umum “Social Protection System and Policy for Minority Group (Comparing Indonesia and the US), yang diselenggarakan pada Selasa (9/6). Acara ini diselenggarakan oleh Magister Ilmu Pemerintahan, International Programme of Governmental Studies (IGOV), dan Jusuf Kalla School of Government (JKSG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bertempat di ruang seminar lantai 4 Gedung Pascsarjana UMY, Kampus Terpadu UMY.
Menurut Aris, Social Worker tersebut merupakan program dimana para kelompok minoritas tersebut dapat memanfaatkan bantuan yang diberikan pada mereka, sebagai modal untuk menjalankan usaha. Program tersebut juga tidak sepenuhnya harus bergantung pada pemerintah, namun juga butuh andil dari kelompok masyarakat lainnya. Tujuannya tak lain agar permasalahan yang muncul dari kelompok minoritas tersebut dapat diatasi bersama dengan baik. “Jadi, untuk kelompok minoritas di Indonesia itu memang jangan menjadikan mereka sebagai pengemis, dengan hanya menengadahkan tangan atau menerima bantuan tanpa ada usaha lain untuk melatih skill berwirausaha mereka. Karena itulah, saya membuat program Social Worker ini pada kelompok-kelompok minoritas tersebut, melalui bantuan yang diberikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Program Social Worker tersebut, lanjut Aris, dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas tersebut, agar bisa membuat hidup itu lebih menantang lagi. “Tidak hanya itu, mereka juga kami ajak berkunjung ke daerah-daerah lain untuk mencari peluang usaha. Setelah mereka melihat usaha-usaha unggulan di daerah lain itu, mereka kemudian dilatih untuk membuat kelompok kerja agar bisa menentukan usaha apa yang akan mereka lakukan untuk kelangsungan kehidupan mereka ke depan,” jelas dosen UMY ini lagi.
Aris pun berharap, dengan adanya program tersebut, orang-orang dalam kelompok minority itu tidak lagi hanya bergantung pada bantuan pemerintah, tapi pada tahun kedua mereka diharapkan sudah bisa memiliki usaha mandiri, melalui modal yang diberikan pemerintah. “Kita juga jangan hanya mendidik mereka agar terus tergantung pada kita. Tapi kita juga harus membantu bagaimana nantinya mereka bisa dibantu dan kemudian bisa membantu orang lain yang membutuhkan, seperti mereka sebelumnya. Dan hal inilah yang penting,” imbuhnya.
Sementara itu, Ms. Vannesa Guest, perwakilan dari pihak Kedutaan US di Indonesia mengatakan, Amerika Serikat memiliki kebijakan yang cukup membantu bagi para penyandang disabilitas. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, para penyandang disabilitas tersebut memiliki kesetaraan penuh sebagaimana orang normal pada umumnya. “Orang-orang Amerika sangat menghargai mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Bentuk penghargaan orang-orang dan pemerintah Amerika adalah dengan memberikan fasilitas khusus yang bisa digunakan oleh penyandang disabilitas, baik itu untuk transportasi atau telekomunikasi. Segala kemudahan juga diberikan pada mereka,” pungkasnya. (sakinah)