Suasana perpolitikan Indonesia sempat mengalami pergolakan yang cukup hebat, hingga mengakibatkan beberapa konflik. Oleh karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. menyampaikan bahwa para ilmuwan harus dapat memikirkan kemajuan bangsa bersama berbagai pihak. Hal itu disampaikan pada sarasehan Ikatan Sarjana Sosiologi (ISI) Wilayah Yogyakarta yang bekerjasama dengan Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada (8/7) di Kampus Terpadu UMY.
Dalam pidatonya, Haedar menyeru kepada para sosiolog untuk bisa bekerjasama dan menawarkan hal baru yang sangat berguna bagi Tanah Air. “Para pakar Sosiologi perlu tampil untuk ikut menawarkan suatu perubahan untuk bangsa ini. Dengan ilmu perspektifisme, seorang sosiolog mampu melihat beragam persepektif untuk menjelaskan berbagai isu-isu kebangsaan kita. Agar orang tidak bersumbu pendek dalam melihat Indonesia. Silahkan untuk melakukan pendekatan dengan berbagai cara,” ungkapnya.
Haedar menuturkan ada dua hal yang terjadi di Indonesia sehingga menjadikan bangsa ini dalam kondisi yang gaduh. Pertama adalah menguatnya politik identitas tiap kelompok dan kedua faham radikalisme menjadi semakin kuat. “Belakangan kita disuguhkan oleh isu yang semakin mengeras. Pertama penguatan politik identitas, kemudian radikalisme juga menjadi isu yang berkembang di tengah masyarakat,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa para sosiolog perlu mempelajari poin-poin dari positifisme dengan pendekatan interpretatif. Hal ini berguna untuk memberi pemahaman mengenai dasar perpolitikan di Indonesia. Selain itu, solusi pengenai permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik di masyarakat.
“Karena mungkin saya tidak tahu bahwa di ilmu politik kebanyakan pragmatisme Amerika yang kuat, bukan ala kontinental yang ada filosofisnya. Sehingga pendekatan ahli-ahli ilmu politik Indonesia itu menjadi sangat pragmatis dan keras. Maka terbukti amandemen UUD 45 itu produk pendekatan ilmu politik yang positifistik juga pragmatis. Sehingga kehilangan filsafat politiknya,” tutur Haedar.
Pada akhir pidatonya, Haedar berharap kepada para ilmuwan yang bergerak di bidang sosiologi bisa terus melakukan pembahasan yang membangun. Supaya permasalahan serta konflik yang terjadi pada pemilu 2019 tidak terjadi pada gelaran berikutnya. Setelah pemilu 2019 kemarin, masyarakat masih terjebak pada situasi yang menyebabkan daya kritis menjadi lemah dan muncul istilah “sumbu pendek”.
“Kalau seperti itu terus, Indonesia akan kehilangan peluang dalam melakukan lompatan untuk menjadi negara yang maju. Banyak orang menjadi berfikiran pendek, dan juga miopik, sehingga kita tidak lagi berada di ruang sosiologis yang leluasa untuk membicarakan Indonesia ke depan,” pungkasnya. (ak)