Perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini semakin menjadi fenomena yang diperbincangkan hingga tataran global. Hal ini disebabkan oleh dampak pemanasan global yang sangat diprediksi sangat besar bagi alam semesta. Kondisi hutan di dunia sebagai pemeran utama penyerap gas penyebab pemanasan global yang telah mencapai level mengkhawatirkan, menjadi faktor utama semakin besarnya perubahan iklim terjadi. Namun, strategi reduksi jumlah gas rumah kaca yang dilakukan di perkotaan dinilai tidak kalah penting dibanding upaya perbaikan hutan.
Demikian disampaikan Muhammad Nurhadi, Local Coordinator Policy Advice for Environment and Climate Change (PAKLIM), Deutsche gesellschaft fur Interntaionale Zusammenarbeit (GIZ) dalam Workshop “Strategi Perubahan Iklim Kota, How to Make It!” yang diadakan GIZ dalam rangkaian agenda Pameran Kerjasama Pembangunan Jerman dan Indonesia (JERIN), Rabu (9/11) di Ruang Seminar Gedung AR Fahrudin A Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Menurut Muhammad, tidak seperti permasalahan hutan, jumlah emisi gas karbon yang diproduksi di lahan perkotaan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang terus mengalami perubahan sehingga dibutuhkan analisa dan upaya penanggulangan yang berbeda-beda di setiap kota. “Permasalahan di hutan mana pun akan sama saja. Berbeda dengan di kota, teknologi, industri, pertumbuhan ekomomi, kebijakan politik, kebiasaan masyarakat dan faktor lain yang melibatkan manusia menjadikan kondisi di kota jauh lebih kompleks sehingga dibutuhkan strategi yang lebih pula”, jelasnya.
Dalam upaya tersebut, Muhammad mencontohkan strategi yang telah dirancang oleh PAKLIM-GIZ berupa perencanaan strategi perubahan iklim yang dilakukan PAKLIM di 10 kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Yogykarta. Langkah pertama adalah pemahaman konteks berupa identifikasi kebijakan, strategi dan rencana pembangunan di kota tersebut. Kemudian upaya identifikasi sumber gas rumah kaca di serta skenario iklim dan dampaknya terhadap pembangunan kota tersebut.
Langkah selanjutnya disebut Muhammad berupa penentuan prioritas dan tujuan seperti identifikasi dan analisa resiko dan peluang perubahan iklim, menilai tingkat resiko iklim di visi misi kota, resiko dan peluang penurunan emisi serta target penurunannya. Setelah itu baru kita bisa menentukan tindakan dan strategi yang harus kita lakukan dari hasil analisis tersebut. “Setidaknya ada dua poin besar yang sering dikaitkan dalam upaya perubahan iklim, yaitu poin mitigasi dan adaptasi. Kedua hal tersebut harus dilakukan bersamaan sehingga terintegrasi dengan baik. Baru selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi,” terangnya.
Mitigasi, yaitu upaya minimalisasi pemanasan global dari sumbernya menjadi sangat penting mengingat tingkat produksi gas rumah kaca yang dilakukan masyarakat sebenarnya dapat ditekan. Industri, pengunaan kendaraan, manajemen pembuangan sampah misalnya masih berpotensi untuk ditekan. “Di negara-negara Eropa yang tingkat kesadaran tentang pemanasan globalnya sudah tinggi misalnya, perusahaan-perusahaan yang pengonsumsi hutan justru membeli hutan dan mengambil bahan dari hutan milik mereka sendiri sehingga mampu melakukan kontrol dan penyeimbangan dari dampak negatif serta upaya positifnya.” Jelas Muhammad.
Sementara adapatasi menurut Muhammad juga merupakan upaya vital karena dampak pemanasan global yang saat ini semakin dirasa. Banjir Rob serta bencana lain akibat pemanasan global dewasa ini semakin sering terjadi setidaknya di Indonesia. Sehingga perlu direncakanan upaya adapatasi demi terjaganya alam semesta.
Pada akhirnya, Muhammad mengharapkan peran masyarakat untuk menyadari dampak pemasanan global ini. Kerjasama pemerintah untuk memberikan data valid untuk analisa juga dinilai Muhammad sangat penting. “Setidaknya ada empat faktor besar meningkatnya jumlah gas rumah kaca di perkotaan yang perlu diperhatikan, pertumbuhan penduduk, level teknologi, pola pertumbuhan ekonomi, dan penggunaan bahan bakar”, tandasnya.