Berita

Suku Kokoda Yang Minim Pengetahuan Bertani dan Kesehatan

Di Papua, suku Kokoda dapat ditemui di kota Sorong. Kota minyak ini sudah mengalami banyak pembangunan, hutan-hutan banyak dibuka untuk dijadikan lahan ekonomi ataupun sebagai sarana infrastruktur. Ini menyebabkan komunitas nomaden seperti suku Kokoda tersingkirkan dari wilayah hidupnya. Seperti itulah kira-kira yang dialami oleh suku adat Kokoda di kampung Warmon Kokoda di distrik Mayamuk, kota Sorong.

Perubahan tersebut sejatinya berfungsi agar mampu membangun wilayah tersebut. Namun demikian masih ada pihak-pihak yang belum mampu menyesuaikan dengan budaya yang lebih maju dari kehidupan tradisional yang dianut oleh suku Kokoda. Mau tidak mau suku Kokoda harus mampu menyesuaikan dengan lingkungannya yang sudah berubah. Inilah yang menjadi tujuan kehadiran kelompok KKN (Kuliah kerja Nyata) Mahardika Bakti Nusantara (MBN) dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), untuk memberdayakan masyarakat Kokoda agar mereka mampu berdiri menghadapi kehidupan modern.

Meski demikian, tidak serta merta suku Kokoda harus meninggalkan nilai-nilai adat yang selama ini mereka miliki. “MBN datang kesini untuk mendorong mereka agar mampu mandiri dan dapat berjalan berdampingan dengan kehidupan modern tanpa harus meninggalkan identitas mereka sebagai sebuah suku adat. Karena identitas suku Kokoda adalah sesuatu yang unik dan harus tetap dilestarikan meski mereka hidup dalam budaya yang baru,” ujar Idra Faudu yang merupakan anggota MBN dari Fakultas Agroteknologi UMY.

Dalam melakukan misinya untuk memberdayakan masyarakat Warmon Kokoda, MBN memperkenalkan warga setempat dengan beberapa hal yang dinilai dapat mendorong mereka untuk membangun diri sendiri dan masyarakatnya. Salah satu program yang diberikan oleh MBN adalah teknik bertani, karena tanah di bumi Cenderawasih ini dikenal subur sehingga memudahkan tanaman untuk tumbuh. “Kalau kita perhatikan, tanah di kampung Warmon Kokoda ini berwarna hitam. Ini disebabkan oleh kandungan humus yang sangat tinggi. Hal ini tentu saja menjadikan tanah di kampung ini sangat cocok untuk ditanami dengan tanaman, seperti sayur mayur dan buah-buahan,” ujar Fathurahman Khomeri yang juga berasal dari Fakultas Agroteknologi UMY.

Sebelum MBN diterjunkan ke lokasi kampung Warmon Kokoda, mereka sudah mempersiapkan agenda-agenda yang telah direncanakan jauh hari. Berbagai teknik yang dapat digunakan untuk mengolah tanah menjadi lahan pertanian secara mudah mereka siapkan, begitu pula dengan macam dan jenis tumbuhan yang akan dibudidayakan. Namun ketika mereka sudah sampai di lapangan tempat mereka akan merealisasikan segala rencana yang sudah dirumuskan, kelompok KKN MBN dihadapkan dengan ujian berupa hujan deras yang datang silih berganti. Sungai kecil di depan kampung Warmon kokoda meluap, bahkan jalan-jalan di area perumahan warga terendam air yang tingginya mencapai betis kaki.

Dihadapkan dengan kondisi yang seperti itu MBN tetap tak patah arang. Mereka mencari cara agar potensi tanah di kampung Warmon Kokoda tak terbengkalai. Akhirnya setelah bertanya kepada dosen pembimbing lapangan, Dr. Gatot Supangkat, mereka sepakat menggunakan teknik vertikultur. “Akhir-akhir ini wilayah sorong sering sekali diguyur hujan dan itu menyebabkan wilayah di kampung Warmon Kokoda banjir. Untuk mengolah ladang saat ini belum dapat kita lakukan, karena apabila kita memaksa untuk menanam di ladang yang rawan banjir ditakutkan akan mengalami gagal panen. Teknik vertikultur yang kami inisiasi akan memposisikan tumbuhan lebih tinggi dari permukaan air. Sehingga ini akan melindungi tumbuhan dari terendam air,” jelas Faturahman.

Vertikultur merupakan sebuah cara budidaya tanaman secara vertikal atau bertingkat. Teknik ini menggunakan lahan sempit yang tidak terpakai maupun pekarangan kecil di rumah warga. Sebagai medianya mereka menggunakan bambu dengan ukuran cukup besar. Bambu tersebut kemudian dibelah dua lalu diisi dengan tanah secukupnya baru kemudian ditanami dengan benih tumbuhan. Untuk benihnya, mereka memilih Sawi dan Kacang Panjang yang terbilang mudah dan masa panennya cepat. Warga kampung pun sudah ada beberapa yang membuat vertikultur ini di samping rumah mereka dan sudah ada yang berkecambah juga, ini menunjukkan ada kemungkinan teknik ini akan berhasil.

Bagi Masyarakat Kokoda, bertani merupakan hal yang baru dalam kebiasaan hidupnya. Dari puluhan orang yang tinggal di kampung Warmon Kokoda, hanya beberapa saja yang cukup familiar. “Itupun lahannya tidak di kampung Warmon Kokoda, ada yang lahannya di kota dan di kampung sebelah. Yang ditanam pun hanya sekedar Kasbi (Ketela Pohon) yang tak perlu perawatan khusus dan bisa ditinggal. Warga Warmon Kokoda lebih terbiasa untuk mencari ikan, baik di sungai atau di laut. Hampir setiap rumah memiliki jaring atau jala ikan, karena memang wilayah kampung Kokoda ini dekat dengan pantai,” ujarnya.

MBN mengaku memilih pertanian sebagai salah satu aspek yang intens diperkenalkan kepada warga karena mereka menilai hal ini jauh lebih mudah untuk masyarakat ketimbang beternak. “Memang ada beberapa ekor Sapi, Kambing dan bahkan Ayam berkeliaran di kampung itu, namun hewan-hewan itu hanya dibiarkan lepas begitu saja. Tidak ada usaha untuk meningkatkan produktivitas dari hewan ternak itu. Karena itu kami lebih fokus untuk memperkenalkan mereka ke teknik bertani, karena tumbuhan dapat dipanen secara cepat sehingga hasilnya bisa segera dirasakan oleh warga. Selain itu juga biaya untuk bercocok tanam jauh lebih murah ketimbang berternak,” sambung Fathurahman.

Selain bertani, MBN juga menggalakkan pengetahuan tentang pentingnya kesehatan bagi warga Warmon Kokoda. Jujur saja, keadaan di sana sangatlah jauh dari kata bersih. Warga Warmon Kokoda terbiasa berjalan tanpa menggunakan alas kaki ketika berjalan-jalan di luar rumah. Belum lagi kesadaran mereka untuk menjaga kebersihan diri yang sangat kurang dan juga masalah sanitasi yang buruk. “Banyak penyakit yang dihasilkan dari sanitasi yang buruk. Contohnya saja seperti Malaria, banyak sekali kubangan yang ada di wilayah kampung terisi dengan jentik nyamuk dan ini berbahaya bagi warga. Selain itu juga banyak warga, terutama anak-anak, yang sakit atau hanya sekedar luka. Oleh warga biasanya hanya diberi pengobatan tradisional saja, tapi kemudian anak-anak ini tetap bermain di tempat yang kotor seperti kubangan air dan tanah berlumpur. Jangan heran kalau menemukan ada anak kecil berenang di kubangan bekas banjir sambil tertawa-tawa. Itu sudah jadi hal yang lumrah di sini,” ujar Esa Hilma Aulia, mahasiswa Ilmu Ekonomi anggota MBN.

Meski lumrah untuk anak-anak kecil Warmon Kokoda, namun kebiasaan itu tetap dapat mengakibatkan masalah kesehatan nantinya. Untuk itu MBN berusaha untuk memberikan pengertian tentang pentingnya kesehatan bagi warga Warmon Kokoda. Mulai dari mengajak anak-anak masuk kelas dan membaca bersama hingga hanya sekedar mengajak mereka mengenakan pakaian dan sandal ketika keluar rumah. Mengajak mereka melakukan gosok gigi masal sekampung pun MBN lakukan untuk memperkenalkan pola hidup yang bersih dan sehat. “Kami bekerja sama dengan Puskesmas terdekat untuk mengadakan program Posyandu dan juga cek kesehatan setiap akhir bulannya. Alhamdulillah kegiatannya berjalan lancar, hanya saja partisipasi dari warga masih tergolong rendah. Terlebih dari orang tuanya, ada beberapa dari mereka yang masih enggan mengonsumsi obat-obat kimia dan lebih memilih pengobatan tradisional,” lanjut Esa.

Walaupun begitu, MBN yakin dengan komunikasi yang baik warga Warmon Kokoda akan dapat memahami bahwa pola hidup yang bersih dan sehat sangat penting untuk diterapkan. Maka dari itu MBN menitikberatkan program kesehatan mereka dengan literasi hidup yang sehat. Warga pun akhirnya sedikit banyak sadar bahwa kesehatan merupakan poin yang penting dalam kehidupan dan hal itu harus dijaga. Bahkan beberapa anak muda menawarkan diri untuk menjadi kader kesehatan yang akan bertindak mengawasi desa. Tentu hal ini disambut baik oleh MBN.

Pada akhirnya seluruh kegiatan yang dilakukan oleh MBN sifatnya adalah untuk memberdayakan warga Warmon Kokoda. Agar mereka mampu menjadi komunitas yang tak tertinggal dan mampu terus hidup dalam berbagai keadaan. Semangat kemanusiaanlah yang mampu mendorong setiap pribadi dalam kelompok MBN untuk bertindak sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap apapun dari warga kecuali agar masyarakat Warmon Kokoda mampu membangun kehidupannya dengan lebih baik. (raditia)