Sri Sultan Hamengkubuwono X menganjurkan mahasiswa untuk kembali ke jalurnya yang idealis. Mahasiswa seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai idealisme, bukan malah berorientasi pada nilai praktis dan pragmatis yang lebih mementingkan diri sendiri. Mahasiswa pun harus menyadari perannya sebagai agen perubahan (Agent of Change), kontrol sosial (Social Control), dan pembawa misi kekuatan moral.
Hal tersebut disampaikan Sultan melalui Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Sekda DIY, Drs. Sulistyo, SH. CN. M.Si, saat menjadi keynote speech dalam acara Seminar Nasional dan Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-DIY bertajuk “Peran Mahasiswa Yogyakarta Sebagai Pengawas dan Pengawal Dalam Proses Penentuan Kebijakan Pemerintah”, yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (11/4). Dalam acara ini hadir pula Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, Bambang Wahyu Nugroho, S.IP, MA (Dosen UMY) dan Arya Sandiyudha (Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia di Turki) sebagai pembicara dalam seminar tersebut.
Dalam sambutan tertulisnya, Sultan HB X yang diwakili oleh Drs. Sulistyo menyatakan bahwa, mahasiswa itu seperti angin, sementara pemerintah adalah pohonnya. Jika suatu saat ranting dan daun-daun yang ada di pohon tersebut sudah tua dan kering, maka akan disapu dengan sangat mudah oleh angin yang datang berhembus. Karena itu, mahasiswa sebenarnya memiliki kontribusi besar pada pemerintah. “Sebab dalam lintasan sejarahnya, mahasiswa selalu menorehkan tinta emas dalam mengawasi dan mengawal kebijakan pemerintah. Itu karena mahasiswa selalu berpijak pada moral, bukan pada kepentingan sesaat,” ungkapnya.
Itulah kenapa menurut Sultan, nilai-nilai idealisme yang menjadi pegangan mahasiswa itu sangat penting untuk lebih dikedepankan oleh mahasiswa itu sendiri. Sultan pun mengingatkan agar mahasiswa tidak mudah terbawa arus, apalagi dengan merambahnya teknologi yang semakin canggih dan hiburan-hiburan yang mulai melenakan jiwa idealisme mahasiswa. “Jangan menjadi mahasiswa yang manja karena kecanggihan teknologi. Mahasiswa seharusnya juga menjadi pribadi yang kritis dengan dunia-dunia hiburan yang mulai banyak melenakan generasi muda. Jangan justru ikut-ikutan terlena dan masuk dalam dunia hiburan tersebut. Karena mahasiswa itu punya peran penting yang harus disadari untuk dilakukan, yakni sebagai pembawa kekuatan moral masyarakat dan bangsa, serta menjadi agent of change,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, mahasiswa menurut Sultan sebenarnya berada pada dua sisi strategis yang dapat membawa kemajuan bagi bangsanya. Di satu sisi, mahasiswa menjadi penyambung antara masyarakat dan pemerintah. Di sisi lain, mahasiswa juga dapat menjadi penyambung lidah pemerintah kepada masyarakat, agar masyarakat mengerti dan tahu arah kebijakan pemerintahnya. “Karena itu, mahasiswa ke depannya bukan lagi hanya menjadi kekuatan moral masyarakat dan bangsanya, pengontrol kondisi sosial masyarakat, atau pun hanya menjadi agent of change saja. Tapi lebih dari itu, mahasiswa ini kelak akan menjadi iron force (kekuatan besi), kekuatan baru untuk menggantikan pemimpin-pemimpin di masa ini, agar esok masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ini bisa menjadi lebih baik lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo memaparkan, para pemimpin di negeri ini seharusnya bisa mengambil pelajaran mengenai kepemimpinan dari filosofi kepemimpinan dalam kesultanan. Seperti halnya filosofi mengenai pemimpin pada kesultanan Yogyakarta dan Solo yang sebenarnya juga memiliki pandangan yang sama dalam memaknai seorang pemimpin. “Dalam kesultanan Yogyakarta, seorang Sultan itu akan duduk di atas singgasana yang ditempatkan di tengah-tengah tanpa dibatasi oleh tembok di sekelilingnya. Makna dari hal ini tentu saja agar Sultan atau seorang pemimpin itu bisa mendengar semua kritikan, keluhan dan segala macam uneg-uneg rakyatnya,” paparnya.
Selain itu, menurut adik Sri Sultan HB X ini, seorang pemimpin juga tidak boleh mengambil kebijakan yang bertentangan dengan kitab suci agama mana pun. Karena itu menurutnya, pemimpin itu memang harus berhati-hati sekali dalam mengambil kebijakan. “Seorang pemimpin itu memang harus selalu waspada dan hati-hati dalam mengambil setiap kebijakan. Agar tidak bertentangan dengan kepercayaan dan keinginan rakyatnya. Tapi selain itu, yang tak kalah pentingnya juga, pemimpin itu juga harus lincah dan memiliki kepedulian yang tinggi pada rakyat dan bangsanya,” imbuhnya.
Di sisi lain, Ir. Agus Nugroho Setiawan, M.P selaku Ketua Lembaga Pengembangan Kemahasiswaan dan Alumni (LPKA) UMY mengatakan, pergerakan mahasiswa di Yogyakarta bisa dikatakan dapat menjadi salah satu barometer, untuk mengetahui kondisi bangsa Indonesia. Jika mahasiswa Yogyakarta sudah mulai bergerak untuk mengkritik pemerintah, maka bisa dikatakan bahwa kondisi bangsa Indonesia sudah sedemikian berubah. “Gerakan mahasiswa di Yogyakarta ini bisa jadi sudah menjadi salah satu barometer untuk mengetahui kondisi bangsa. Kalau mahasiswa di Yogyakarta sudah bergerak dan banyak melakukan aksi di jalan, itu berarti kondisi bangsa ini sudah sangat kritis,” ujarnya.
Dikatakan demikian, menurut Agus karena jika diperhatikan, saat pemerintah Indonesia dapat benar-benar memberikan kenyamanan pada rakyatnya, mahasiswa di Yogyakarta tidak akan melakukan gerakan. Tapi, ketika pemerintah itu sudah dianggap oleh mahasiswa tidak berpihak dan tidak memberikan kesejahteraan pada rakyatnya, maka mereka akan mulai bergerak. “Namun mereka tidak begitu saja langsung bergerak melakukan protes. Mereka akan diam memperhatikan dulu, kemudian akan bergerak melakukan protes jika kebijakan pemerintahnya sudah dianggapnya melampaui batas dan menyengsarakan rakyat,” imbuhnya.
Karena itu, dirinya berharap dengan adanya seminar dan Forum BEM Se-DIY tersebut akan muncul pemikiran-pemikiran baru dan revolusioner dari para mahasiswa untuk membangun bangsa yang lebih baik lagi ke depannya. Selain itu juga, agar pemerintah dari mulai tingkat desa, daerah hingga pusat juga menjadi lebih bersih dan lebih baik.