Kemampuan tanggap bencana sering kali tidak diperhatikan oleh individu karena selalu bergantung pada pemerintah maupun kelompok-kelompok pertolongan bencana. Melihat banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun seharusnya kemampuan tanggap bencana juga harus ditingkatkan tak hanya dari level professional Basarnas, BNPB, petugas medis namun juga untuk lapisan masyarakat, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kamis (30/01) Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah atau yang lebih dikenal Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) mengadakan Pertemuan Ilmiah Muhammadiyah Kebencanaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam acara ini terbagi menjadi berbagi sesi acara salah satunya sesi diskusi mengenai membangun masyarakat tangguh bencana. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Lilik Kurniawan dalam sambutannya mengatakan bahwa kemampuan tanggap bencana bisa dimulai dari keluarga, ia biasanya menyebutnya dengan KATANA (Keluarga Tanggap Bencana).
“KATANA merupakan sebuah wujud dimana ketika keluarga memutuskan untuk menempati wilayah yang rawan bencana, keluarga tersebut harus paham dan mengerti tentang medan atau kondisi yang ia tempati (pengetahuan). Dari situlah mereka sadar akan potensi apa saja yang bisa terjadi (sadar), kemudian keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang berbudaya dan tanggap bencana,”jelasnya.
Lilik kembali menambahkan bahwa dalam circle tanggap bencana, MDMC berada di posisi mendukung masyarakat sekitar supaya lebih tangguh dalam menghadapi bencana mengingat dari 7 obyek ketangguhan bencana salah satunya adalah pemukiman.
Sementara itu, Dr. Tri Nur Hastuti memaparkan materi tentang masyarakat tangguh bencana dari perspektif perempuan. Sebagai dosen aktif Ilmu Komunikasi UMY dan juga sekretaris PP Aisyiah ia menekankan tentang problematika perempuan dan bencana. Menurutnya perempuan 14 kali lebih rentan terhadap bencana dari sisi kerugian, dampak psikologis, dan traumatik.Hal ini diakibatkan ketika adanya bencana, rata-rata perempuan tidak langsung menyelamatkan dirinya tetapi menyelamatkan anaknya terlebih dahulu kemudian memastikan keadaan baik-baik saja. Selain itu pengetahuan yang terbatas dalam penyelamatan diri dan absennya perempuan dalam training mitigasi bencana, juga menjadi faktor dari problematika perempuan dan bencana.
“Akan lebih baik jika perempuan dilibatkan dalam training tanggap bencana, tidak hanya lelaki saja. Jika perempuan mempunyai anak yang tidak bisa ditinggal saat menjalani training, bisa saja kita berikan fasilitas taman bermain atau area bermain anak. Selagi kita mengikuti training, anak-anak kita bisa bermain dan masih dalam pengawasan kita,” tutupnya. (id)