Berita

Tanggapi Hasil Keputusan MKMK, Dekan FH UMY Tekankan Perlunya Moralitas dan Etika Dalam Praktik Bernegara

Menanggapi hasil putusan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D. mengatakan bahwa hasil putusan merupakan teguran keras bagi moralitas dan etika seorang hakim MK. Menurutnya, MK yang merupakan lembaga istimewa yang tidak memiliki pengawasan sudah seharusnya diisi oleh hakim yang tinggi secara tingkat moralitas dan etika, sehingga dapat diterapkan dalam praktik bernegara.

“Hasil putusan ini sebenarnya sudah menjadi palu yang merobohkan moralitas dan etika Anwar Usman sebagai Ketua MK. Saya mengapresiasi hasil putusan dari MKMK yang sudah menjawab harapan sebagian masyarakat. Walaupun putusan ini tidak seperti yang kita harapkan seratus persen, karena tuntutan sebagian masyarakat untuk Anwar Usman yang telah melakukan pelanggaran berat adalah pemberhentian sebagai hakim MK, tidak hanya sebagai Ketua MK,” ujar Iwan saat dihubungi pada Selasa malam (7/11).

Ia juga menyampaikan bahwa dengan segala kewenangan yang dimiliki oleh MK, para hakim MK yang menyandang gelar ‘negarawan’ harus menjunjung tinggi moralitas dan etika, agar seimbang dengan keistimewaan yang mereka miliki. Ini harapannya juga dapat menjadi teladan bagi masyarakat dengan melihat bahwa pejabat negara dapat mengedepankan moralitas dan etika dalam mengambil keputusan.

“Hukum itu tidak pernah sempurna. Seandainya hukum tidak dapat meyelesaikan masalah, masih ada moralitas dan etika yang dapat menjadi solusi permasalahan. Sehingga kemampuan beretika dalam bernegara menjadi penting bagi pejabat negara, karena ini sekaligus mempertaruhkan standar moral mereka,” imbuh Iwan.

Iwan berpendapat bahwa kendati sudah memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, ketiga anggota MKMK tetap tidak dapat mengubah hasil putusan sebelumnya oleh MK terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu), yang tercantum dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Karena yang dapat diperiksa oleh MKMK hanya pelanggaran kode etik oleh hakim MK.

“Putusan dari MK bersifat final and binding, yang artinya mengikat. Saya kira diadakannya sidang pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim MK sudah merupakan usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh banyak pihak termasuk kelompok masyarakat untuk menegakkan prinsip konstitusi. Hanya ada sedikit kemungkinan bagi MKMK untuk melakukan terobosan dan mengesampingkan prinsip final and binding tersebut, karena mereka tidak punya wewenang untuk memeriksa, menilai dan menjatuhkan putusan terkait substansi putusan dari MK,” jelas Iwan.

Meskipun demikian, Iwan yang merupakan pakar hukum tata negara memandang adanya satu poin yang menarik dari keseluruhan hasil putusan MKMK, dimana Anwar Usman yang masih berstatus hakim MK dilarang oleh MKMK untuk terlibat dalam pemeriksaan dan pengadilan sengketa yang terkait dengan Pemilu, termasuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif. Hal ini, menurut Iwan dapat mereduksi adanya benturan kepentingan dari Anwar Usman, mengingat ia juga merupakan paman dari salah satu calon wakil presiden yaitu Gibran Rakabuming Raka. (ID)