Penting bagi Perguruan Tinggi membangun konsep diri atau karakter kuat dalam diri mahasiswa sebagai upaya menangkal maraknya fenomena dugaan cuci otak yang melibatkan gerakan NII, dimana mahasiswa sebagai korbannya.
Menurut pakar Psikologi Sumberdaya Manusia yang juga Dosen tetap Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, fenomena tersebut terjadi karena lemahnya konsep diri atau karakter mahasiswa sehingga memudahkan orang lain mempengaruhi pola pikir mereka sehingga memiliki belief atau kepercayaan yang salah. Her menjelaskan “cuci cotak” adalah konsep yang rancu dan tidak jelas. “Yang terjadi adalah seseorang mempengaruhi orang lain dengan melemahkan factor kritisnya sehingga membentuk perilaku negatif yang relative permanen,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Heru menjelaskan perilaku seseorang terbentuk berakar pada keyakinan mereka. “Semakin kuat keyakinan tentang konsep yang ditanamkan pelaku “cuci otak”, maka semakin kuat mereka berperilaku,” jelasnya di Kampus Terpadu, Selasa (26/4).
Dalam praktiknya, pelaku akan membuat korban bingung dengan kalimat ambigu yang digunakan sehingga faktor kritis tidak dapat berfungsi menyeleksi dan menganalisis data atau pesan yang masuk secara normal. Dikarenakan tidak berfungsinya faktor kritis, maka korban cenderung mengikuti pesan yang disampaikan pelaku “cuci otak”. Biasanya pelaku melakukan pendekatan yang bersifat multiple approach sehingga hasilnya maksimal pada korban dengan melakukan pengulangan (repetisi) ataupun penguatan lingkungan (reinforcement). “Disamping itu, figure pelaku adalah orang yang terkesan terpelajar dan berwibawa yang pada intinya mampu membuat korban terpesona pada penampilan dan kata-katanya,” terang Heru.
Ia mengungkapkan, maraknya fenomena gerakan dugaan pencucian otak yang dilakukan jaringan NII diakibatkan lemahnya konsep diri atau karakter korban sehingga memudahkan mereka untuk menanamkan kepercayaan yang salah mengenai sebuah ajaran. Melihat kondisi korban tersebut, para pelaku secara sistematis dapat membangun belief yang salah saat kondisi korban bingung. Para korban umumnya cenderung berkepribadian tertutup, kurang fleksibel, dan tidak asertif dengan lingkungannya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Heru menilai peran perguruan tinggi sangat besar dalam membangun karakter kuat bagi civitas akademika, khususnya mahasiswa agar mampu menangkal segala bentuk pemahaman yang tidak benar. Perguruan Tinggi perlu memberikan solusi untuk membangun mahasiswa yang memiliki konsep diri atau karakter kuat seperti rasa percaya diri yang tinggi, melibatkan mereka dalam proses argumentasi untuk meningkatkan jiwa kritis sehingga mereka tidak mudah terprovokasi ajaran atau pemahaman yang tidak tepat.
“Selain itu, perlu diciptakan pula pendidikan yang menjadikan mahasiswa sebagai subjek sehingga mereka memahami arah pendidikan bagi mereka. Dengan demikian, mereka benar-benar menjadi pelaku dalam pembelajaran,” tandas Heru.