Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) UMY, adakan diskusi pakar yang bertajuk “Regulasi Kuat Untuk Indonesia Lebih Sehat.” Acara yang bertujuan untuk menggali sebab tidak disahkannya Rancangan Undang- Undang Keperawatan yang terbengkalai selama 20 tahun tersebut, berlangsung di gedung AR. Fachruddin B UMY, Minggu (22/9).
Anggota DPR RI Komisi IX Nursuhud selaku pembicara pada acara tersebut menerangkan, RUU Keperawatan tersebut bukan hanya urusan kesehatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Akan tetapi RUU Keperawatan ini juga bagian dari proses politik yang pelik. “Pemerintah pasti peduli dengan kesehatan, akan tetapi ada suatu proses yang sulit diselesaikan dalam masalah RUU Keperawatan ini. Karena adanya kepentingan lain dan itu juga dari pihak kesehatan,” ungkap Nursuhud di UMY.
Nursuhud menerangkan bahwa adanya diskriminasi antara profesi harus diakhiri. Karena awal dari kehancuran bangsa itu berasal dari adanya diskriminasi. Jika dilihat dalam bidang kesehatan antara dokter dan perawat, yang bisa menjabat sebagai direktur Rumah Sakit (RS) atau Menteri Kesehatan di Indonesia harus dokter. “Jika masalah diskriminasi ini terus berlanjut, Indonesia bisa hancur dan akhirnya kesehatan pasti terbengkalai. Oleh sebab itu, mitos perang profesi ini harus diakhiri,” jelasnya.
Menurut Nursuhud, dengan adanya ILMIKI saat ini yang gencar menyuarakan RUU Keperawatan, bisa menjadi hari bangkitnya perawat Indonesia. Nursuhud juga menyarankan untuk meninjau kembali draft RUU Keperawatan dan diajukan ulang. Selain itu anggota DPR RI Komisi IX ini mengajak mahasiswa keperawatan lebih melek politik. “Kalian boleh saja perawat, tapi juga harus paham proses politik,” terang Nursuhud di UMY.
Senada dengan Nursuhud, Sekretaris Jendral Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengatakan, adanya diskriminasi profesi kesehatan antara dokter dan perawat. Posisi yang strategis di pemerintahan dipegang oleh dokter, sedangkan perawat tidak terlalu dianggap. “Perawat Indonesia harus lebih melek politik, jika tidak selamnya posisi perawat tidak akan pernah dianggap. Tujuan kita sama dalam hal kesehatan tapi tidak seharusnya ada pembedaan, kita juga perlu payung hukum,” ungkapnya.
Sedangkan alumni ILMIKI UMY Mohammad Affandi mengatakan, di desa- desa perawat menjadi payung kesehatan bagi masyarakat. Perawat mengawal masyarakat dalam hal kesehatan, hal itu karena kurangnya dokter yang bertugas dipedalaman. “Walaupun kita belum memiliki payung hukum, walaupun kita sudah lelah menunggu sekitar 20 tahun. Kita harus tetap menjadi payung kesehatan bagi masyarakat, dimanapun kita berada,” terang dosen Ilmu Keperawatan UMY ini. (Syah)