Sejarah perjalanan film Indonesia cukup panjang dan mengalami naik turun, salah satu momen kebangkitan film Indonesia adalah pasca 1998. Kebangkitan di sini tidak hanya bicara kuantitas namun secara isu dan tema yang diangkat cukup beragam dan banyak mengandung kritik sosial. Salah satu yang cukup menonjol adalah tentang multikultur dan kelompok minoritas. Hal tersebut yang menjadi alasan penting penelitian disertasi Filosa Gita Sukmono, S.Ikom. MA mengangkat tema “Dinamika Wacana Multikultur Dalam Film Indonesia Dengan Isu Minoritas Pasca 1998 (Analisis Wacana Kritis Film Gie, Tanda Tanya dan Soegija),” yang dilaksanakan pada Jum’at (12/01) lalu di kampus terpadu Universitas Padjajaran Bandung.
Filosa Gita Sukmono, S.Ikom. MA yang juga merupakan dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam sidang tersebut berhasil meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan. Gelar tersebut diraih pada pelaksanaan Ujian Terbuka Promosi Doktor, Program Doktor Ilmu Komunikasi Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD.
Saat dihubungi pada Senin (15/1), Filosa menyampaikan bahwa film multikultur dengan isu minoritas menjadi fokus utama dalam penelitian ini yang di dalamnya mengangkat keberagaman. “Pada Film multikultur tidak hanya menampilkan satu budaya saja tapi beberapa budaya yang ditampilkan. Selain itu juga manampilkan bagaimana perjuangan kelompok minoritas. Ada tiga film yang saya angkat, film pertama adalah film Soe Hoek Gie. Film ini mengkisahkan tentang perjuangan Gie dalam melawan ketidakbenaran dan ketidakberesan di zamannya. Perjuangan Gie sebagai etnis Tionghoa semakin berat ketika satu persatu orang terdekat meninggalkannya termasuk perempuan yang dekat dengan Gie,” ujar Filosa.
Filosa menambahkan film keduanya yaitu berjudul Tanda Tanya yang cukup menimbulkan kontroversi. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan salah satu ormas yang tiba-tiba memboikot pemutaran film tersebut. “Di balik kontroversinya, film ini mampu meraih 11 penghargaan salah satu-nya pada tahun 2011 di Festival Film Indonesia meraih penghargaan sebagai pengarah sinematografi terbaik. Film ini benar-benar menceritakan permasalahan multikulturalisme di Indonesia, mulai dari gesekan antar agama sampai gesekan antar etnis,” papar Filosa.
Film ketiga berjudul Soegija, film ini menceritakan perjuangan Soegija yang juga seorang uskup dalam melawan penjajah. “Film yang banyak menuai kritik dan kontroversi di dalam negeri ini justru mendapatkan apresiasi yang luar biasa di luar negeri, yaitu dengan mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Niepokalanov-Polandia pada tahun 2013. Selain itu juga mendapatkan penghargaan dari Muri (Museum Rekor Indonesia) sebagai film dengan penggunaan bahasa terbanyak pada tahun 2012. Melalui film ini peneliti ingin melihat bagaimana perjuangan seorang pejuang non-muslim dalam melawan penjajah di era kemerdekaan dengan balutan keberagaman dan kebersamaan,” tandasnya.
Kembali ditambahkan Filosa dari ketiga film Indonesia pasca 1998 itu hampir semuanya menonjolkan isu minoritas. “Jika ditelisik lebih dalam maka dari berbagai peristiwa komunikasi yang juga berasal dari analisis teks, wacana sampai sosial budaya dari ketiga film tersebut maka terlihat bagaimana wajah multikulturalisme di Indonesia mengarah pada multikulturalisme akomodatif. Artinya di balik perlawanan, kemandirian sampai negosiasi kelompok minoritas terhadap moyoritas, tetap terlihat bagaimana akhirnya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan minoritas terhadap mayoritas. Kemudian dari penelitian ini diharapkan bisa memiliki kebermanfaatan bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah literasi multikultur berbasis media yang ditujukan untuk masyarakat agar bisa melek multikultur dan tidak hanya sekedar ucapan saja, tetapi harus pada tingkat implementasi pada kehidupan sehari-hari,” tutup Filosa. (sumali)