Laju era globalisasi pada sisi lain, bisa berdampak langsung bagi dunia pendidikan serta dapat membawa manusia kepada krisis spiritual. Di sisi lain pula, dunia pendidikan akselerasi atau percepatan yang merupakan kumpulan dari orang-orang cerdas, masih banyak yang menitikberatkan pada pendidikan kognitifnya saja. Karena itulah, sekolah-sekolah akselerasi tersebut seharusnya bisa mengimbangi pendidikan kognitif tersebut dengan pendidikan afektif dan kepribadian melalui pembelajaran keagamaan, seperti Pendidikan Agama Islam (PAI). Hal ini juga untuk menyeimbangkan kualitas intelektual yang dimiliki oleh peserta didik, serta menjadi jembatan penyelamat untuk mengatasi krisis spiritual yang terjadi akibat dampak negatif globalisasi.
Itulah yang disampaikan oleh Drs. H. Budi Susanta, M,.Pd. dalam penyampaian disertasi doktornya dengan judul disertasi “Perkembangan Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP Negeri 1 Muntilan”. Disertasinya ini berhasil menjadikan Budi Sebagai Doktor ke 18 yang dihasilkan oleh program Pascasarjana dalam Ilmu Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang diuji oleh 7 penguji dengan diketuai oleh Dr. Muhammad Nurul Yamin, M.Si bertempat di Ruang Sidang AR. Fachruddin A Lantai 5 UMY, Sabtu (13/09).
Dalam presentasi disertasinya, Budi menjelaskan bahwa hasil dari penelitian disertasinya ditemukan suatu model inovasi pembelajaran PAI di kelas akselerasi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Muntilan, melalui penonjolan beberapa komponen seperti Superior (S), Ubah (U) waktu pembelajaran, nilai minimal KKM (N), dan Nuansa Islami (NI), atau disingkat Model SUNNI.
SUNNI menurut Budi merupakan model pendidikan yang menggabungkan beberapa komponen keunggulan, yaitu siswa yang dapat mengikuti kelas akselerasi adalah siswa yang telah terseleksi secara kapasitas yang dinilai melalui tes Intelektual Qualiti (IQ) yang mendapat skor diatas 120. Lalu, siswa yang memiliki IQ diatas 120 tersebut disesuaikan jam belajar percepatannya, sehingga dalam mengikuti proses belajar rentang waktu kelas akselerasi dan regular dapat berbeda, kelas akselerasi waktunya lebih singkat seperti 2 tahun, sementara kelas reguler menempuh waktu 3 tahun dengan jumlah materi yang sama. “Kemudian, siswa juga harus mampu mencapai Nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam proses belajar dengan waktu percepatan tersebut. Nilai KKM tersebut minimal 8,0. Dan yang lebih penting dalam model SUNNI ini terletak pada penaman nilai-nilai Agama Islam yang didukung dengan nuansa Islami dalam keseharian proses belajar, seperti pemasangan tulisan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an di dalam kelas, membiasakan memulai kelas dan pembelajaran dengam membaca Al-Qur’an, semua siswi memakai jilbab, serta teladan atau contoh akhlak dan sifat mulia yang diajarkan oleh para guru. Inilah pola yang diterapkan oleh model SUNNI,” paparnya.
Selain itu Budi juga menjelaskan bahwa selain keunggulan model pembelajaran SUNNI, SUNNI dalam penerapannya juga masih menemui masalah, khususnya dalam pola penerapan inovasi pembelajaran PAI. Masalah tersebut terletak pada akses internet yang seringkali berjalan lambat. Padahal akses internet tersebut juga menjadi bahan penting dalam pemberian dan penyelesain tugas peserta didik. “Karena itu siswa-siswi sering mengalami kelambatan dalam penyelesaian tugas-tugas PAI. Karena itu, kami menyarankan agar sekolah tersebut lebih memperhatikan lagi kelayakan dari fasilitas pendukung berupa Teknologi Informasi (TI) tersebut. Agar pembelajaran PAI pada sekolah akselerasi tersebut menjadi lebih baik lagi. Selain itu juga untuk meningkatkan keterampilan mengajar oleh guru, sehingga profesionalitas guru juga dapat semakin meningkat” jelas Budi lagi yang juga merupakan PNS inspektorat Kabupaten Magelang.
Dengan adanya penelitian tentang inovasi pembelajaran PAI pada sekolah akselerasi yang dilakukan oleh Budi tersebut, pihak universitas dan penguji berharap, pembelajaran PAI melalui model SUNNI tersebut dapat menjadi peyeimbang spiritualitas, pengamalan akidah, moral dan tata kehidupan masyarakat beragama. “Karena mereka adalah orang-orang cerdas yang nantinya juga akan memimpin negeri ini. Jadi mereka harus memiliki spiritualitas, akidah dan moral yang baik. Dan hal itu dapat diajarkan melalui pendidikan agama, seperti PAI ini,” pungkas Prof. Dr. H. Sutrisno, M.Ag, selaku promotor dan penguji Dr. Budi Susanta, M.Pd.