Berita

Tentang perempuan, Mahasiswa UMY presentasi di Taiwan

Sebagian besar pekerja migran berasal dari negara berkembang yang memiliki struktur ekonomi yang tidak lebih baik daripada negara maju. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam standar upah minimum yang diberikan kepada pekerja di negara – negara maju, ditambah ketersediaan lapangan kerja di negara- negara berkembang umumnya tidak cukup bagi masyarakat.

Sebagian besar pekerja migran berasal dari negara berkembang yang memiliki struktur ekonomi yang tidak lebih baik daripada negara maju. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam standar upah minimum yang diberikan kepada pekerja di negara – negara maju, ditambah ketersediaan lapangan kerja di negara- negara berkembang umumnya tidak cukup bagi masyarakat. Dengan demikian, penduduk di negara berkembang akan cenderung pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan, bahkan sebagai buruh. Mereka berharap untuk mendapatkan kerja di luar negeri sehingga mereka akan mendapatkan upah yang lebih baik.

Seiring dengan fenomena tersebut, banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia, buruh migran yang sering menjadi kasus dalam sektor jasa domestik, terutama kekerasan terhadap perempuan.

Demikian disampaikan mahasiswa International Program for Law and Shariah (IPOL) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY), Shandy Mahesya, ketika memaparkan hasil tulisannya yang dibawanya dalam the Annual Indonesia Scholars Conference –Taiwan. Konferensi tersebut diselenggarakan di Southern Taiwan University and Technology, Tainan City, Taiwan, Republic of China.

Dalam makalah tersebut yang dipresentasikan 20 Maret 2010 lalu, Shandy membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia yang sering dialami oleh pekerja migran perempuan, termasuk menghubungan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau CEDAW, sebuah lembaga yang dibentuk oleh Persatuan Bangsa – Bangsa agar digunakan untuk advokasi hak –hak buruh migran.

“Dari hasil makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa CEDAW merupakan salah satu alat terkuat yang dapat melindungi hak –hak buruh migran perempuan, baik yang legal maupun illegal. CEDAW juga dapat menjadi dasar yang kuat untuk mendukung para pekerja migran perempuan dalam mengklaim hak –hak asasi manusia mereka,” papar Shandy.

Menurut Shandy, pelanggaran hak asasi perempuan sebagai pekerja migran merupakan isu yang penting dan menarik untuk dibicarakan. “Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta bahwa jumlah pekerja migran telah meningkat dua kali lipat bahkan lebih, sejak 1960. Pengawas internasional sering menemukan dokumen pelanggaran hak asasi manusia selain tidak adanya alat yang berguna untuk melindungi hak –hak para buruh migran tersebut serta tidak adanya dasar kuat sebagai alat yang kuat untuk melakukan advokasi hak asasi perempuan pekerja migran tersebut,” jelasnya di Kampus Terpadu, Senin (29/3).

Ditambahkan olehnya, ada dua alasan mengapa perempuan seharusnya perlu dilindungi daripada pria, yaitu perempuan adalah manusia yang mudah mendapatkan perlakuan diskriminasi dan eksploitasi, serta pekerja migran perempuan sering mendapatkan pelanggaran hak asasi manusia. Alasan kedua adalah sebagian besar dari jumlah keseluruhan pekerja migran adalah perempuan yang diperkirakan mendekati 50% dari jumlah total pekerja migran, khusus di negara berkembang, jumlahnya melebihi kaum pria.

Terkait, dengan CEDAW, terdapat tiga prinsip yang dianutnya, yaitu prinsip non-diskriminasi, kesetaraan substantif, dan prinsip tanggung jawab negara.

Kesetaraan substantif mampu mengurangi diskriminasi berdasarkan gender dan juga menyediakan hak yang sama antara pria dan perempuan dalam tempat kerja. “Dalam hal ini, dalam beberapa pasalnya, CEDAW menekankan adanya kesetaraan, termasuk memastikan bahwa pendidikan dalam keluarga memiliki pemahaman yang benar tentang kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama antara pria dan perempuan dalam membesarkan anaknya,” tambah Shandy.

Dalam menjalankan prinsip tanggung jawabnya, CEDAW menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah universal. untuk itu, negara tidak berhak menelantarkan tenaga kerjanya, termasuk para pekerja ilegal.