Berita

Terhadap Kelalaian Medis, Pasien Cenderung Enggan Ambil Jalur Hukum

Dalam dunia kesehatan di Indonesia saat ini, perkembangan pesat dalam segi kualitas fasiliias maupun sumber daya manusia ternyata masih menyisakan permasalahan. Salah satunya terjadinya kelalaian atau malpraktik dalam proses perawatan medis yang dilakukan terhadap pasien. Perlindungan terhadap pasien dalam hal ini sebenarnya telah diatur oleh pemerintah dalam undang-undang sejak tahun 1999. Meskipun demikian, kecenderungan untuk mengacu pada undang-undang  untuk menyelesaikan kasus-kasus kelalaian medis di Indonesia masih terbilang rendah.

Demikian diungkapkan M. Endriyo Susila S.H, MCL, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) ketika menguraikan paper berjudul “An Inquiry of Health Consumer Protection: Indonesian Case” yang akan dipresentasikan dalam International Conference on Consumer Law 2011 (CONLAW 2011), Rabu (21/9). Konferensi tersebut diselenggarakan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia dan diadakan di Equatorial Hotel, Bangi, Selangor, Malaysia.

Lebih lanjut Endriyo menuturkan pemerintah sebenarnya telah menggunakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu juga menggunakan undang-undang lain sebagai upaya melindungi hak-hak konsumen untuk melindungi hak-hak setiap konsumen secara umum dari dampak negatif yang muncul dari penggunaan suatu barang maupun jasa.

“Termasuk perlindungan pasien yang memiliki hak untuk menuntut kompensasi jika pelayanan kesehatan yang ia terima telah menyebabkan kerusakan kepadanya melalui mekanisme gugatan perdata. Permasalahannya, kebanyakan pasien di Indonesia menganggap wajar terhadap kelalaian atau malpraktik yang dilakukan penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini dokter dan rumah sakit.”tuturnya

Menurut Endriyo, pada dasarnya kebanyakan orang bersedia membayar pelayanan medis atas dasar kebutuhan mereka untuk menjadi sehat. Menyadari bahwa penyembuhan penyakit tidak di tangan dokter melainkan di tangan Allah swt, pasien hanya mengharapkan dokter melakukan upaya terbaik untuk menyebuhkan penyakit mereka. “Kebanyakan pasien merasa cukup saat pengobatan yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar perawatan yang ada”, terangnya.

Dalam beberapa kasus, pasien bahkan masih memberikan toleransi ketika perawatan dokter ternyata di bawah standar perawatan. Apalagi sebagian besar pasien tidak mengerti dengan rinci mengenai standar perawatan yang seharusnya. “Kebanyakan pasien biasanya hanya mengekspresikan kekecewaannya dengan mengatakan keluhan-keluhannya kepada dokter yang bersangkutan. Namun, keluhan akan berhenti begitu saja saat pasien merasa puas dengan tanggapan dokter dan tidak mengambil jalur hukum.”jelasnya.

Padahal dalam berbagai undang-undang yang ada, pasien dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalur litigasi (melalui pengadilan) atau non litigasi. “Pada jalur non litigasi kasus akan dibawa ke badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui arbitrase, konsiliasi atau mediasi. UU Praktik Kedokteran 2004 juga telah memperkenalkan organ otonom Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang memiliki otoritas menerima keluhan dari pasien.”tegasnya.