Berita

Terkait Putusan MK Soal Batas Usia Capres- Cawapres, Ini Pandangan Pakar UMY

Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Putusan ini buntut dari JR UU No.7/2017 mengenai pemilu terkait batas usia capres cawapres dan diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru.

Polemik ini disorot oleh pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman SH., LLM yang menyebut bahwa putusan ini sensitif dan beraroma politis sebab terkait dengan momentum Pilpres 2024 dan sarat akan konflik kepentingan.

Ia menduga kuat hal ini berkaitan erat dengan kepentingan anak Presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo yang hendak maju sebagai calon wakil presiden berdampingan dengan Prabowo Subiyanto, tetapi sempat terhalang syarat secara konstitusional karena faktor usia.

“ Ini tentu putusan yang agak kontroversial karena pertama putusan ini dibuat dalam dinamika momentum pilpres 2024. Kedua, kuat dugaan berkaitan dengan kepentingan anak presiden dalam hal ini Mas Gibran. Ketiga, yang lebih ironis lagi melibatkan pamannya mas Gibran yaitu ketua MK (Anwar Usman),” ungkap King saat diwawancarai lewat telepon oleh Humas UMY Rabu (25/10).

“Apakah keputusan ini by order, COD atau bukan, wallahu ‘alam. Jangan sampai putusan tersebut menandai dugaan terjadinya perselingkuhan rezim dengan MK. Banyak yang berspekulasi, seakan jurus invisible hand, turut cawe-cawe memengaruhi putusan,” katanya.

Namun menurutnya, sangkaan tersebut sulit untuk diingkari. Ia menyebut bahwa geliat konfigurasi politik masih menunjukkan hasrat Gibran untuk bersanding dengan Prabowo bukan pepesan kosong. Putusan ini dianggap memberikan peluang atau karpet merah bagi Gibran, sehingga tidak ada lagi jalan yang menghalanginya untuk masuk dalam radar cawapres.

Yang menarik diungkapkan King lebih lanjut, bahwa putusan ini justru menimbulkan kegalauan Hakim MK yang berbeda pendapat.

“Hakim MK yang lain saja, merasa “dikibulin” atau ragu terhadap putusannya. Ini pertanyaannya, Hakim saja tidak percaya dengan putusannya sendiri, apalagi publik? Kan gitu,” kata Dosen Fakultas Hukum UMY tersebut.

Dalam persidangan, King mengungkapkan bahwa argumentasi atau pertimbangan hukum yang dibuat oleh Hakim hanya berisi curhatan, bukan memberikan alasan hukum yang rasional dan logis. Hakim juga tidak memberikan sebuah argmentasi hukum yang kuat terkait alasan mengapa putusan tersebut di ambil oleh MK, yang akhirnya menimbulkan kontroversi.

Keputusan ini sebetulnya menurut King masih bisa dibatalkan karena ketua MK memiliki hubungan ikatan kekeluargaan dengan presiden. Dimana hal tersebut dapat diproses dan dikenai sanksi secara pidana dan administrasi sesuai perintah undang-undang kekuasaan dan kehakiman. “Sayangnya tak segampang itu, kita berharap Hakim MK itu tunduk dan patuh terhadap perintah undang-undang, faktanya malah diabaikan. Ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi yang dibuat oleh MK sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hokum,” tegasnya.

Lebih lanjut, putusan ini tentu menguntungkan salah satu paslon (pasangan calon). Melihat indikator dan rasionalitas pertimbangan hukum yang dibangun oleh MK rasa-rasanya cukup sulit menolak anggapan tersebut. Karena faktanya, MK menunjukkan sikap inkonsistensi yang jelas terlihat. Apalagi dengan objek JR dan petitium yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak berjarak. Yaitu putusan No.29/PUU-XXI/2023,51/PUU-XXI/2023 dan perkara 55/PU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah terkait batas usia yang berakhir dengan penolakan.

“Yang menjadi aneh bin ajaib, MK tidak konsisten, harusnya batasan usia itu urusannya open legal policy oleh pembentuk undang-undang (DPR). MK tidak perlu cawe-cawe di situ. Ada tiga putusan yang diputuskan hari Senin kemarin yang objek gugatannya sama, tapi ditolak. Dan MK memberikan alasan bahwa yang dimohonkan partai politik dan kepala daerah katanya beda dengan keputusan yang menentukan Gibran kemarin itu. Pertanyaannya apa bedanya penyelenggara negara dengan kepala daerah? Bukankah kepala daerah juga bagian dari penyelenggara negara? Jadi ini logika hukum yang agak sesat dan menyesatkan publik,” tuturnya.

Putusan soal batas usia capres-cawapres ini dinilai King akan sangat berdampak bagi tatanan demokrasi di Indonesia. Pertaruhan terhadap eksistensi dan marwah MK sebagai lembaga penegak hukum yang harus memerankan diri sebagai lembaga yang independen dan imparsial akan dipertanyakan. Dimana hal ini dapat memengaruhi tingkat kepercayaan terhadap MK.

“Jangan-jangan MK sudah “masuk angin”, malah jadi “tim sukses”, inikan berbahaya sekali. Orang tidak lagi percaya terhadap lembaga kekuasaan yudikatif MK yang sejak awal ketika pembentukan spiritnya adalah untuk menegakkan konstitusi. Tapi faktanya dia tidak mampu memerankan lembaganya secara baik dan menurut saya ini momentum melakukan evaluasi secara menyeluruh apakah eksitensi MK ini masih kita butuhkan atau harus ada solusi,” jelasnya.

Lebih lanjut menurut King, putusan ini tidak sah secara hukum. “Kalau dari kacamata UU 48 Tahun 2009 dapat dikatakan demikian. Dapat dibatalkan, tidak mengikat. Tapi kan problem kita ini satu, sifat putusan MK itu tidak bernilai eksekutorial, tidak bisa dieksekusi dengan upaya paksa. Kalau MK ini kan memutuskan sengketa norma jadi tidak ada keharusan,” tandasnya.

Dalam menghadapi situasi ini, King berharap agar penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), memeriksa secara cermat argumen hukum yang mendasari putusan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Karena menurutnya putusan ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Lebih lanjut, King mengusulkan agar pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, agar mempertimbangkan kembali pendekatan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Jika DPR memandang bahwa putusan MK bertentangan dengan hukum atau kebijakan yang ada, mereka tidak perlu mengubah undang-undang sesuai dengan putusan tersebut, karena tidak ada kewajiban yang mengharuskan mereka melakukannya. “Inikan sanksi secara etik dan moral, soal kepatutan secara hukum,” katanya.

King juga mengajak masyarakat untuk tetap menggunakan hak pilih mereka dalam momentum Pilpres dan Pilkada 2024. Dia menyebut pemilu sebagai cara untuk memberikan mandat kepada pemimpin. Siapapun pemimpin yang terpilih, ia berharap dapat membawa perubahan dan kemajuan bagi bangsa, dan menjaga supremasi hukum yang baik dan benar. Dia meyakini bahwa masyarakat sudah cukup cerdas untuk dapat memilah dan memilih di tengah putusan hukum yang kontroversial. Serta ia berharap agar tidak meggadaikan masa depan bangsa ini hanya karena terjebak dengan praktik-praktik menyimpang, tidak membangun sentimen yang berpihak pada figur tertentu, dan masyarakat tentu harus punya ukuran yang rasional dan kompatibel.

King menegaskan bahwa memilih pemimpin adalah suatu tindakan yang sangat penting dan masyarakat harus memilih berdasarkan integritas, kapasitas, dan pengalaman calon pemimpin. Dia mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam praktik-praktik korupsi atau uang dalam pemilihan, dan menginginkan agar pemilihan pemimpin didasarkan pada visi kebangsaan dan negarawan, bukan pada kepentingan pribadi atau praktik KKN.

“Karena memilih pemimpin ini saya kira tidak sama dengan memilih kucing di dalam karung, soal integritas, kapasitas, dan pengalaman itu penting. Apalagi kepala negara. kalau kita memilih bukan karena kapasitas, tapi isi tas, ini repot juga. Jadi jangan terjebak dengan praktik-praktik uang tapi gunakanlah hak pilih sesuai dengan pertimbangan yang rasional dan menempatkan visi kebangsaan, sehingga sosok presiden itu juga punya visi kebangsaan dan kenegarawanan, bukan visi kekeluargaan atau KKN,” pungkas King. (Mut)