Berita

Terkoyaknya Semboyan Bhineka Tunggal Ika


Kondisi bangsa Indonesia saat ini seringkali dihadapi oleh konflik horizontal. Masyarakat sering dihadapkan oleh peperangan, pembunuhan dsb akibat konflik antar etnis maupun agama. Padahal sejak abad ke 13 Indonesia telah memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Simbol tersebut jelas membuktikan bahwa Indonesia memiliki beragam identitas namun tetap berdamai. Ternayata kenyataan yang dihadapi adalah semboyan itu hanya sebagai simbol semata karena semboyan itu telah terkoyak oleh pemerintah sendiri.

Hal ini disampaikan oleh ketua panitia 1st International Conference on Media, Communication and Culture dengan tema “Rethingking Multiculturalism: Media in Multicultural Society”, Yeni Rosilawati, pada Rabu (7/11) di Kampus Terpadu UMY. Seminar tersebut menghadirkan pakar multikulturalisme dari University of Western Australia Prof Krishna Sen dan Prof Chua Beng Huat dari National University of Singapore.

Menurut Yeni yang sekaligus tercatat sebagai Dosen Ilmu Komunikasi UMY menyatakan bahwa Pemerintah bahkan tidak mengaplikasikan semboyan itu saat bertemu dengan orang lain yang memiliki beragam identitas. Padahal sadar tidak sadar, kenyataannya bangsa Indonesia memiliki banyak sekali perbedaan. Perbedaan itulah yang menyebabkan berbagai konflik.

“Sebut saja kasus Way Panji dari Lampung yang telah ada sejak abad ke 13 juga dirasakan akibat minimnya toleransi dan pertukaran informasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Untuk itu peran media juga sangat penting sebagai penyampai informasi dan ikut memberikan pendidikan komunikasi antar budaya kepada masyarakat,” lanjutnya.

Selain Yeni, Prof Khrisna juga memaparkan tentang pemahaman manusia yang hidup di dunia dengan keberagaman budaya. Multikulturalisme itu sendiri didasarkan pada sejarah seseorang orang dengan  kepentingan tertentu.

“Boleh jadi multikulturalisme merupakan kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu. Karena multikulturalisme merupakan teori bangsa Barat yang kemudian diadopsi di Asia,” paparnya.

Acara ini dihadiri oleh ratusan peserta dari 7 negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina Thailand, Australia dan USA berlatar belakang akademisi, peneliti, dan praktisi yang memaparkan dan mendikusikan tentang multikulturalisme. Acara ini dilaksanakan oleh prodi Ilmu Komunikasi UMY bekerjasama dengan School of Communication Universiti Sains Malaysia (USM).