Terorisme, khususnya yang terjadi di Indonesia, sudah menjadi wacana dunia Internasional. Namun demikian, pemerintah Indonesia masih belum memiliki solusi untuk mengatasi hal ini. Terorisme dianggap sebagai hal ‘kabur’ yang muncul ibarat letusan gunung. Sekarang meletus dan membuat turis ketakutan untuk datang, tetapi setelahnya dilupakan. Kaburnya permasalahan ini, mengakibatkan prioritas kebijakan yang ada menjadi tidak jelas pula.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Fisipol UMY), Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, saat menjadi pembahas pada acara bedah Buku berjudul “Radikalisme Islam di Indonesia : Jejak Sang Pengantin, Pelaku Bom Bunuh Diri” yang diselenggarakan oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) UMY, Kamis (17/11) sore, bertempat di Kampus Terpadu UMY. Buku ini ditulis oleh Prof. Bilveer Singh (National University of Singapore) dan Prof. Abdul Munir Mulkhan (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan Pengamat Sosial Keagamaan).
Bambang menegaskan, bahwa terorisme adalah isu yang tidak akan pernah hilang. “Terorisme, sama seperti gunung yang meletus. Tiba-tiba saja terjadi dan akan terus ada. Para pelaku masih menganut paham para pendahulunya, bahwa mati sahid tidak harus di Palestina. Mati sahid bisa di mana saja, bahkan di setiap jengkal tanah di muka bumi ini. Karena tiap jengkal tanah adalah tempat konflik antara Islam dengan kafir,” terangnya.
Sementara Prof. Bilveer Singh dan Prof. Abdul Munir Mulkhan, dalam buku ini, menegaskan bahwa terorisme adalah masalah yang riil, yang harus segera ditangani oleh pemerintah Indonesia. Bilveer mengungkapkan, bagaimana masyarakat dunia memandang Indonesia sebagai sarang teroris, hanya karena beberapa pelaku saja. Menurutnya, ada faktor yang mendorong terjadinya terorisme, khususnya terorisme Islam. “Ada faktor pendorong baik dari dalam maupun luar. Orang Islam merasa ditindas, merugi, yang pada akhirnya memberikan dampak pada bagaimana orang Islam melihat dirinya sendiri,” ungkapnya antusias.
Sedangkan Abdul menambahkan, bahwa siapa saja bisa menjadi teroris, tergantung bagaimana seseorang itu memandang dunia. “Masyarakat Islam masih merasa, bahwa nasib buruknya merupakan akibat dari perang salib yang terjadi pada zaman dulu. Hal ini membuat adanya kecenderungan melihat orang lain berbeda dari dirinya, bahwa orang lain adalah musuhnya. Dengan pemahaman ini, dan kepercayaan bahwa kematian itu membanggakan, siapa ” terangnya.