Untuk mewujudkan sebuah Good Government butuh waktu dan proses yang tidak sebentar. Karena pada setiap era, kepentingan dan kebutuhannya berbeda-beda. Hal ini bisa dilihat dari sejarah yang telah dilalui oleh Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Frank Dhont dari University of Brunei Darussalam, dalam acara Konferensi Internasional “2nd Journal of Government and Politics (JGP)” di Ruang Amphitheater Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada hari Senin (24/7). JGP International Conference yang diselenggarakan oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) UMY tersebut diselenggarakan 2 tahun sekali yang diikuti oleh akademisi, peneliti, professor dan juga mahasiswa program pascasarjana serta praktisi pemerintahan dan politik untuk membahas makalah dari hasil penelitian yang diangkat. Konferensi tersebut mengangkat tema “Shifting Dynamics of Social and Politics: the Implication for Policy Making and Community Empowerment.
Menurut Frank cara pandang yang dimiliki oleh para pendiri bangsa sangat unik dan penting bagi generasi mendatang untuk mempelajarinya. “Untuk membuat sebuah good government tidak ada solusi instan. Hal ini menjadi tanggung jawab dari setiap generasi mendatang. Kebutuhan dari setiap kondisi sangat berbeda di setiap era, untuk itu keseimbangan antara kekuatan dan pengambilan keputusan haruslah seimbang untuk setiap generasinya,” ujarnya.
Sejarawan dari University of Brunei Darussalam yang turut menjadi salah satu pembicara dalam acara ini juga menyebutkan bahwa untuk membuat sebuah pemerintahan yang baik, dapat belajar dari sejarah yang sudah terjadi. “Ada sebuah perkataan yang menyebutkan bahwa barang siapa yang tidak membaca sejarah maka ia akan mengulang kesalahannya. Menurut saya untuk membuat sebuah good government kita bisa belajar dari sejarah yang sudah terjadi. Dalam hal ini saya membicarakan tentang Indonesia. Yang diinginkan dari good government adalah untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang baik untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan masyarakatnya. Kita bisa belajar dari masa-masa yang sudah dilalui Indonesia, ada 3 masa yang secara garis besar sangat berpengaruh pada konteks kepemerintahan Indonesia yaitu kolonialisme, awal nasionalisasi, dan juga era internasional kompleks,” papar Frank.
Frank menjelaskan pada 3 masa itu ciri pemerintahan yang dijalankan sangat berbeda fokusnya. “Pada era kolonialisme, saya mengacu pada tujuan dari founding father Indonesia yakni Sukarno. Dalam masa ini yang menjadi fokus adalah bagaimana bakal calon pemerintahan dapat mengatasi tentang ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Indonesia dan juga mengembangkan pemikiran tentang nasionalisasi, untuk itu edukasi tentang kemerdekaan digalakkan agar seseorang tahu bahwa ia memiliki hak untuk kebebasan. Kemudian setelah Indonesia merdeka, hal yang penting untuk selanjutnya dilakukan oleh pemerintahan adalah bagaimana mereka dapat membentuk ekonomi negara untuk menopang kehidupan masyarakat di dalamnya. Dari sana bisa kita lihat bahwa edukasi dan pembangunan ekonomi menjadi hal penting untuk membentuk sebuah pemerintahan yang baik,” jelasnya.
Sementara itu, pembicara lainnya dalam acara ini, Non Napranthansuk dari Maejo University, Thailand mengangkat tentang pembelajaran dan pengaplikasian Smart City untuk menghadapi padatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan. “Smart City dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kota yang lebih pintar dari pada kota tradisional yang meliputi seluruh aspek dari masyarakat hingga kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Hal tersebut penting untuk dipelajari karena saat ini dunia menghadapi tantangan dari banyak aspek. Misalnya dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di kota, diperkirakan hampir 50 persen dari jumlah penduduk yang ada di bumi tinggal di daerah perkotaan,” ujar Non.
Non menyebutkan dalam pembelajaran untuk Smart City, ia banyak melihat ke negara-negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikannya. “Berkaca pada kota-kota pintar yang ada di Jepang, Singapura, dan negara-negara di Uni Eropa, hal yang pertama kali mereka lakukan untuk menerapkan konsep smart city ini adalah dengan membuat penduduk yang tinggal di dalam kota tersebut terlibat aktif di dalamnya. Karena tujuan dari penerapan kota pintar ini adalah untuk mengatasi problematika masyarakat oleh para pemegang kepentingan yaitu pemerintah dan juga masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Non menambahkan bahwa terdapat banyak macam Smart City yang diterapkan. “Ada Japan Smart Community Alliance di Jepang yang bertugas untuk mengembangkan smart system yang akan diterapkan di kota-kota, di sana istilah yang mereka gunakan adalah smart community yang lebih ramah dimana Jepang berfokus pada sustainable energy dan mobiiltas. Hal yang sama juga diterapkan di Singapura dimana konsepnya terencana dan terintegrasi secara top-down sehingga akses untuk fasilitas akan mudah didapat. Sedangkan di Uni Eropa ada banyak kota pintar di sana akan tetapi belum terdistribusikan secara merata di negara-negaranya, fokus dari smart city di sana adalah pada lingkungan dan mobilitas,” tambahnya.
Non juga menjelaskan bahwa konsep Smart City tidak melulu soal teknologi sehingga terkesan hanya masyrakat kelas menengah ke atas yang dapat mengaksesnya. “Smart City bukan hanya bertumpu pada teknologi. Yang kami lakukan dan tekankan dalam konsep kota pintar adalah inovasi, dan itu harus dilakukan dari level terendah. Misalnya adalah dengan meng-upgrade local wisdom yang ada di masyarakat, naikkan standarnya untuk menjadi sebuah smart society,” ungkapnya. (raditia)