Tidak semua penelitian bisa mendapatkan hak paten, banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar kekayaan intelektual seseorang bisa dilindungi dan dimanfaatkan banyak orang. Demikian disampaikan Dr. Ir. Robinson Sinaga, S.H., LL.m saat menjadi narasumber dalam acara workshop Desain Penelitian Strategis Berpotensi HKI. Workshop ini diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Pendidikan, Penelitian dan Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di aula belajar LP3M UMY, Selasa (12/2).
Penelitian yang ingin dipatenkan, menurut Robinson, harus memenuhi tiga syarat, yaitu baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. “Maksud baru disini adalah, penelitian itu belum dipublikasikan di jurnal atau di media apa pun. Kalau penelitian itu sudah dipublikasikan kemudian didaftarkan untuk mendapat hak paten, maka hal itu tidak akan bisa, karena bukan menjadi sesuatu yang baru lagi. Jadi, daftarkan dulu, baru setelah itu bisa dipublikasikan,” paparnya.
Lebih jauh, Robinson menjelaskan bahwa, peneliti terlebih dulu harus mengerti paten itu sendiri. Peneliti juga harus mengetahui arah penelitian yang dia buat. “Kita harus mengerti paten itu sendiri apa? Mengetahui arah riset yang kita buat, apakah menuju ke HKI atau tidak? Dan apakah penelitian tersebut akan menjadi hak paten atau tidak,” jelasnya.
Robinson yang juga sebagai pemeriksa paten ini menerangkan, bahwa paten itu sama dengan invensi. Invensi itu sendiri adalah solusi atas masalah yang bersifat teknis. “Paten itu adalah hak untuk melarang. Hak untuk menghentikan siapa saja dari kegiatan yang terkait dengan invensi yang dilindungi. Jadi, sebenarnya paten itu untuk melindungi barang yang bisa ditiru oleh orang lain,”terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Mukti Fajar ND, S.H., M.Hum selaku kepala LP3M UMY juga menuturkan, Perguruan Tinggi sebagai lembaga penemuan, harus mengarahkan proses pendidikan atau kurikulumnya pada proses invensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dan salah satu lingkup HKI tersebut adalah hak paten.
Fajar juga menyampaikan bahwa HKI bagi perguruan tinggi itu sangat penting. Sebab bisa memperkuat akreditasi, proses akademik, pemberdayaan masyarakat, dan sumber informasi, serta menumbuhkan kebanggaan perguruan tinggi itu sendiri.
Dosen Fakultas Hukum UMY ini juga menambahkan adanya kerugian bagi perguruan tinggi ,jika tidak melindungi HKI atas temuan penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswanya. “Kreasi Intelektualitas akan bebas digunakan dan dikomersialkan pihak lain. Selain itu, pihak lain juga dapat mendaftarkan karya intelektualitas itu pada badan pengelola HKI. Dan jika hal itu terjadi, maka temuan kita itu menjadi milik orang lain,” tandasnya. (sakinah)Tidak semua penelitian bisa mendapatkan hak paten, banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar kekayaan intelektual seseorang bisa dilindungi dan dimanfaatkan banyak orang. Demikian disampaikan Dr. Ir. Robinson Sinaga, S.H., LL.m saat menjadi narasumber dalam acara workshop Desain Penelitian Strategis Berpotensi HKI. Workshop ini diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Pendidikan, Penelitian dan Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di aula belajar LP3M UMY, Selasa (12/2).
Penelitian yang ingin dipatenkan, menurut Robinson, harus memenuhi tiga syarat, yaitu baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. “Maksud baru disini adalah, penelitian itu belum dipublikasikan di jurnal atau di media apa pun. Kalau penelitian itu sudah dipublikasikan kemudian didaftarkan untuk mendapat hak paten, maka hal itu tidak akan bisa, karena bukan menjadi sesuatu yang baru lagi. Jadi, daftarkan dulu, baru setelah itu bisa dipublikasikan,” paparnya.
Lebih jauh, Robinson menjelaskan bahwa, peneliti terlebih dulu harus mengerti paten itu sendiri. Peneliti juga harus mengetahui arah penelitian yang dia buat. “Kita harus mengerti paten itu sendiri apa? Mengetahui arah riset yang kita buat, apakah menuju ke HKI atau tidak? Dan apakah penelitian tersebut akan menjadi hak paten atau tidak,” jelasnya.
Robinson yang juga sebagai pemeriksa paten ini menerangkan, bahwa paten itu sama dengan invensi. Invensi itu sendiri adalah solusi atas masalah yang bersifat teknis. “Paten itu adalah hak untuk melarang. Hak untuk menghentikan siapa saja dari kegiatan yang terkait dengan invensi yang dilindungi. Jadi, sebenarnya paten itu untuk melindungi barang yang bisa ditiru oleh orang lain,”terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Mukti Fajar ND, S.H., M.Hum selaku kepala LP3M UMY juga menuturkan, Perguruan Tinggi sebagai lembaga penemuan, harus mengarahkan proses pendidikan atau kurikulumnya pada proses invensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dan salah satu lingkup HKI tersebut adalah hak paten.
Fajar juga menyampaikan bahwa HKI bagi perguruan tinggi itu sangat penting. Sebab bisa memperkuat akreditasi, proses akademik, pemberdayaan masyarakat, dan sumber informasi, serta menumbuhkan kebanggaan perguruan tinggi itu sendiri.
Dosen Fakultas Hukum UMY ini juga menambahkan adanya kerugian bagi perguruan tinggi ,jika tidak melindungi HKI atas temuan penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswanya. “Kreasi Intelektualitas akan bebas digunakan dan dikomersialkan pihak lain. Selain itu, pihak lain juga dapat mendaftarkan karya intelektualitas itu pada badan pengelola HKI. Dan jika hal itu terjadi, maka temuan kita itu menjadi milik orang lain,” tandasnya. (sakinah)