Berita

TKI Adalah Kegagalan Negara Mengemban Amanah UUD 45

Kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, khususnya Negara tetangga Malaysia, memang kompleks. Membutuhkan jalan penyelesaian yang baik terhadap permasalahan tersebut. TKI sendiri dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, legal dan ilegal. Untuk TKI legal jarang ditemukan masalah. Namun untuk TKI ilegal, banyak masalah yang sering mereka alami. Misalnya penyiksaan, dehumanisasi atau perlakuan tidak manusiawi dari majikan, eksploitasi, tidak dibayarkan hak-haknya, dan segudang permasalahan lainnya.

Menjadi seorang TKI bukanlah sebuah profesi yang dicita-citakan ataupun diinginkan, tetapi lebih merupakan sebuah keterpaksaan. Kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan di negeri sendiri memaksa sebagian rakyat Indonesia terpaksa memilih untuk menjadikan diri mereka sebagai TKI. Mereka memilih bekerja sebagai TKI karena tidak ada pilihan lain lagi yang dapat dijalani.

Dr. Sidik Jatmika, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FISIPOL UMY) menggambarkan situasi tersebut dalam acara bedah buku novel karyanya yang berjudul “Mencintai Malaysia” di Kampus Terpadu UMY, Senin (15/02).

Lebih lanjut, Sidik menjelaskan bahwa Negara telah gagal melaksanakan amanah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) untuk memajukan warga negaranya, mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. “Menjadi TKI adalah keterpaksaan sebagai akibat Negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak,” ujar mantan penyiar radio ini.

Dalam novelnya, Sidik juga menyoroti pada makna nasionalisme yang banyak dipahami rakyat Indonesia dalam kacamata sempit. Nasionalisme yang meluap-luap dalam berbagai slogan dan aksi menurutnya dalam banyak hal lebih dalam perspektif kaum elit yang seringkali mengabaikan dampak yang akan dirasakan rakyat kecil. Seperti akan tercerainya secara paksa hubungan antar saudara atau kerabat hanya karena perbedaan kebangsaan.

Senada dengan Sidik, Endro Dwi Hatmanto, S.Pd, M.A, seorang penulis yang juga menjadi pembedah dalam bedah buku ini menyatakan bahwa kini, nasionalisme seringkali dilihat dalam kacamata sempit. Nasionalisme yang dipahami banyak orang adalah nasionalisme buta. “Nasionalisme yang banyak dipahami sekarang lebih cenderung pada aspek kebanggaan buta. Mau benar atau salah, yang penting Negaraku. Right or wrong is my country. Nasionalisme itu berbeda dengan patriotisme,” jelas Endro.

Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang Welas yang terpaksa menjadi seorang TKI karena tuntutan hidup. Welas yang akhirnya bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di negeri Malaysia ini menghadapi berbagai problematika hidup yang kompleks. Setelah sekian tahun meninggalkan profesi wanita penghibur itu dan menjadi seorang pedagang, ia bertemu kembali dengan anaknya yang merupakan anak dari salah satu pelanggannya ketika menjadi PSK. Anaknya itu bernama Sinta yang kini menjadi seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi ternama.

Suatu ketika, Sinta bertemu dengan Oddy, seorang pria keturunan India. Sinta pun jatuh hati. Namun ternyata, Oddy juga merupakan anak dari Welas dengan seorang tenaga kerja asal India yang dahulu pernah menyelamatkan Welas dari penderitaan yang dialaminya di Malaysia.

Novel ini membawa banyak pesan moral. Dalam novel ini ada pesan terhadap generasi muda, agar jangan sekali-kali mencoba berhubungan seks di luar nikah. Selain itu juga disampaikan tentang pesan moral akan kehidupan yang menuntut seseorang agar memahami hidup yang ibarat roda, kadang di atas dan kadang di bawah, tidak selamanya selalu di atas. Melalui novelnya, Sidik juga menyampaikan pesan agar meninggalkan jauh-jauh sifat sombong dan dengki.

Endro berpendapat bahwa novel Mencintai Malaysia ini adalah sebuah karya yang luar biasa. “Luar biasa. Novel ini bukan novel sembarangan yang kacangan. Sidik dengan gaya khasnya yang humoris dapat mengkombinasikan nilai-nilai budaya jawa, nilai-nilai adat ketimuran, dan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sebuah karya yang sarat nilai,” tegasnya.

Dengan kelebihan yang dimiliki oleh novel ini, tentunya tidak lepas pula dari kekurangan yang ada. Endro menilai, buku ini masih kurang dapat dinikmati oleh orang-orang yang bukan berasal dari Jawa karena banyaknya istilah-istilah berbahasa Jawa. “Akan jauh lebih baik jika diberikan terjemah untuk istilah-istilah Jawa itu,” tambah Endro.