Pasca di undangkannya Undang-undang No. 6 tentang Desa, muncul kekhawatiran bahwa Desa juga akan bernasib sama dengan pemerintah daerah, provinsi, kabupaten/kota yang banyak tersandung kasus korupsi. Potensi korupsi tersebut berpeluang pada beberapa objek, diantaranya Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBN/APBD, tanah kas desa (TKD) melalui jual beli asset desa, pungutan liar sertifikasi massal seperti pembuatan KTP, dan bisa juga melalui Dana Sosial atau Dana Bantuan.
Hal itulah yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LLM, saat menyampaikan materi dalam Diskusi Publik dengan tema “Potensi Korupsi Dalam Undang-Undang Desa” yang diawali dengan pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IKADIN Yogyakarta periode 2015-2019, bertempat di Ruang Sidang AR. Fachruddin A kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (28/02).
Untuk itu, menurut Todung, agar potensi tindak pidana korupsi dalam UU Desa tersebut tidak terjadi, perlu dibuat turunan undang-undang desa. Turunan UU Desa ini menjadi sangat penting agar perangkat desa memiliki acuan yang jelas. Namun untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya komitmen pemerintahan dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekosongan hukum, yaitu belum lengkapnya peraturan tentang pemerintahan desa.
“Mengapa turunan undang-undang Desa penting, karena kita tidak bisa menyamaratakan peraturan turunan dari undang-undang desa untuk semua desa di Indonesia, karena desa ini homogen. Setiap desa berbeda-beda kondisinya, kita melihat seperti ujian nasional, maka akan banyak ketidaksesuaian karena setiap daerah berbeda, maka akan bayak komplen dan kegagalan pelaksanaan disejumlah daerah” ujarnya.
Todung menambahkan, bahwa alasan turunan undang-undang desa yang mengatur pemerintahan desa penting, karena menurut dirinya, korupsi adalah monopoli kekuasaan ditambah dengan dekresi (kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yg dihadapi-Red) dan terjadi karena kekurangan akuntabilitas dari suatu sistem pemerintahan. Menurutnya inilah yang menjadi dasar berpeluangnya terjadinya tindak pidana korupsi.
“Faktor yang mungkin nanti menjadi penyebab penyalahgunaan dana desa ada beberapa yang perlu saya sampaikan. Pertama belum lengkapnya organ-organ dalam pemerintah desa, lemahnya koordinasi dan pengawasan, baik perencanaan maupun saat implementasi di lapangan, belum terbangunnya sistem pengelolaan keuangan, kualitas Sumber Daya Manusia yang masih rendah, dan sistem sanksi administrasi dan hukum yang belum mampu menjadi batas-batas dalam pelaksanaan hal tersebut,” jelasnya.
Berbeda dengan Todung, Dekan Fakultas Hukum (FH) UMY Dr. Trisno Raharjo, SH. M.Hum,. mengatakan bahwa pihaknya mewakili perguruan tinggi akan memberikan pendampingan terhadap kepala desa, agar mampu mengelola keuangan desa dengan baik, serta melakukan pendampingan tidak terbatas pada penyuluhan peraturan-peraturan desa. Tetapi juga menjadi fasilitator dan menjadi tempat konsulitasi perangkat desa.
“Pemberdayaan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan perangkat desa dalam melaksanakan koordinasi, memberikan pendampingan terhadap perencanaan, sistem pengelolaan keuangan, dan pemahaman terhadap tata kelola pemerintah desa. Hal ini bertujuan memberikan kesadaran ihwal hak desa dan kewajiban terkait pengajuan dan penggunaan anggaran desa, serta sanggup membuat laporan dan mempertanggungjawabkannya dalam audit BPK,” jelas Trisno yang juga Direktur Pendidikan dan Latihan IKADIN DIY.
Setelah acara diskusi selesai dilaksanakan, untuk menguatkan peran kerjasama dan pengawalan pemerintahan desa, maka IKADIN bekerjasama dengan Fakultas Hukum UMY menandatangi sejumlah Nota Kesepahaman, untuk menguatkan peran pendampingan terhadap pelaksanaan Undang-undang Desa oleh IKADIN dan Fakultas Hukum sebagai bentuk pelayanan IKADIN dan FH UMY kepada masyarakat. (Shidqi)