Sumber energi yang masih terpusat kepada penggunaan fosil dipandang sebagai isu yang masih menarik perhatian masyarakat. Transisi energi menuju energi terbarukan pun dianggap semakin mendesak, terutama setelah Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, dan juga sebagai proses pembangunan yang berkelanjutan. Prof. Dr. Lilies Setiartiti, M.Si. selaku Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam orasi ilmiahnya pada Sabtu (23/12) menegaskan urgensi dari transisi energi, mengingat ketergantungan yang tinggi kepada energi fosil yang dapat berdampak kepada pembangunan ekonomi nasional.
“Transisi energi menuju energi terbarukan juga menjadi upaya dalam menekan resiko pemanasan global, dan saat ini seluruh dunia secara konsisten melakukan riset untuk mentransformasikan energi agar terwujudnya target nol emisi karbon. Sektor energi sebagai salah satu yang paling berkontribusi terhadap produksi emisi karbon menjadi fokus untuk dilakukannya transisi yang mengacu kepada pergeseran sektor energi mulai dari produksi dan konsumsi yang berbasis fosil menjadi energi terbarukan yang ramah lingkungan,” jelas Lilies.
Menurut Lilies yang merupakan Guru Besar UMY di bidang ilmu ekonomi, penggunaan energi sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, dan hal tersebut menunjukkan perlunya penggunaan energi yang tinggi dan produktif dalam menopang peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan model pembangunan ekonomi yang masih bergantung kepada dominasi energi yang berasal dari fosil, Lilies mengatakan bahwa ketergantungan ini memiliki dampak yang signifikan dalam hal stabilitas ekonomi maupun biaya lingkungan yang tidak terhitung.
“Penggunaan energi dan bahan bakar fosil yang signifikan juga menjadikan Indonesia sebagai negara importir netto bahan bakar fosil walaupun Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas alam yang cukup besar. Ini karena kurangnya infrastruktur dan teknologi yang memadai sehingga kemampuan produksi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik,” ungkap Lilies.
Urgensi dari dilakukannya transisi energi yang harus segera dilakukan, juga harus tetap mengupayakan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui penguatan ekonomi yang otomatis akan terdampak, seperti yang ditegaskan oleh Lilies. Dengan tindakan yang mendorong produksi dan konsumsi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan akan memastikan adanya ketahanan energi sekaligus menjadi kunci utama transformasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan sangat kuat.
Orasi ilmiah Lilies yang digelar dalam acara Rapat Senat Terbuka UMY juga bertujuan untuk mengukuhkan Lilies sebagai Guru Besar UMY yang baru. Pimpinan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian & Pengembangan PP Muhammadiyah Prof. Ahmad Muttaqin, M.Ag., M.A., Ph.D. yang turut hadir menyampaikan bahwa pengukuhan ini menambah jumlah Guru Besar di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) sejumlah 315.
“Hingga saat ini, UMY telah memiliki 35 Guru Besar, dan menjadi yang terbanyak ketiga dari seluruh PTMA. Ini juga menjadi upaya dan pemicu bagi Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dalam mengembangkan sumber daya manusia termasuk dosen, dan menjadi Guru Besar merupakan usaha yang dapat terus hidup dengan berkarya. Jika Guru Besar hanya dianggap sebagai gelar maka secara tidak langsung telah mengkerdilkan berbagai institusi yang menaungi Guru Besar tersebut,” ungkap Ahmad. (ID)