Tren persebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) Aids saat ini bergeser kepada ibu-ibu rumah tangga. Per Juni 2011, sebanyak 216 kasus HIV Aids yang ditemukan di Kota Kendal, 18%-nya adalah ibu rumah tangga. Hal ini tentu saja memprihatinkan, mengingat selama ini masyarakat secara umum menganggap bahwa yang beresiko tinggi terkena aids adalah kelompok “high risk” seperti supir, tunasusila, pengguna narkoba jenis suntik, dan sebagainya.
Hal ini disampaikan oleh Tri Hastuti Nur R, M.Si, aktivis gender sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (1/12) dalam diskusi terbatas terkait Hari Aids, yang juga diperingati pada 1 Desember kemarin.
Tri menjelaskan, penelitiannya memunculkan angka yang cukup banyak terkait aids pada ibu rumah tangga. “Di Kota Solo, setiap bulan bisa ditemukan 10-30 kasus aids pada ibu rumah tangga. Mau tidak mau, seorang istri memiliki hubungan yang langsung dengan suami. Bila suaminya masuk dalam kelompok “high risk” atau beresiko tinggi terkena aids, sebenarnya istri pun juga memiliki resiko itu,” terangnya.
Menurutnya, meningkatnya jumlah ibu rumah tangga yang terjangkit aids, dipengaruhi oleh kultur yang ada. “Para wanita, khususnya kali ini adalah ibu rumah tangga, seringkali tidak berani bicara. Dalam kultur Indonesia, wanita adalah yang diharuskan untuk melayani, menurut, mereka cenderung tidak berani untuk meminta suaminya menggunakan kondom saat berhubungan badan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tri mengatakan bahwa di kalangan ibu rumah tangga, harus dibangun kesadaran untuk membentuk hubungan yang lebih setara dengan suami. “Seorang wanita harus sadar bahwa bila dirinya terkena, maka resiko anak terkena aids juga akan muncul, pada istri yang sedang hamil misalnya. Jadi, seorang wanita harus berani untuk meminta para suami menggunakan alat pengaman seperti kondom,” jelasnya.