Sebagai umat muslim sudah seharusnya berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Hadis yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, umat muslim harus bersungguh-sungguh dalam menggunakan akal dan pikirannya untuk mempelajari Al-Quran dan Hadis yang merupakan pedoman dalam kehidupan. Untuk itu segala sesuatu yang bersumber dari Qur’an dan Hadis perlu diolah secara komprehensif agar kita mengatahui hukum, aturan, serta perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Para pejuang muslim yang sudah mampu mengolah sumber Qur’an dan Hadis yakni seperti Imam Hanafi, Maliki, Sya’fie, dan Hambali. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. saat mengisi ceramah tarawih pada Kamis (24/5) di Masjid K.H Ahmad Dahlan UMY.
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadis, Yunahar mencontohkannya melalui keberadaan empat imam mazhab tersebut. Ia menjelaskan bahwa para Imam dari empat Mahzab tersebut sudah bisa dikatakan sebagai para mujtahid mutlak yang sudah menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan Qur’an dan Sunnah. “Salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh para mujtahid mutlak yakni mempunyai metodologi yang jelas dalam berijtihad sendiri. Sehingga mereka bisa mengeluarkan hukum fikih secara mandiri, jadi intinya harus mampu menguasai nilai keislaman, ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum Allah, tafsir, dan asal usul hadis. Kemudian ada mujtahid mazhabi yakni terikat pada imam mahzab tertentu baik dalam metodelogi istinbath maupun dari hasil ijtihad. Disebut mujtahid mazhabi harus memiliki kemampuan memcahkan hukum masalah baru yang rumusan hukumnya belum diperoleh dari mazhabnya,” ujarnya.
Kembali ditambahkan Yunahar bahwa dalam berijtihad perlu mengikatkan diri dengan istinbath imam mahzab yang dianut, demikian pula dengan hukum furu’ yang telah dihasilkan oleh mahzabnya. “Ijtihad yang dilakukan oleh para imam mahzab hanya berkutat pada masalah yang memang belum diijtihadkan oleh imamnya. Kemudian ada ijtihad jama’i (kolektif) yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama atau bermusyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama. Seperti Muhammadiyah memiliki Majelis Tarjih untuk menentukan hukum-hukum yang akan disepakati bersama untuk warga muhammadiyah,” tandasnya.
“Selain itu ada Ittiba yakni mengikuti perkataan para ulama dan tidak terikat dengan satu imam mahzab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan yang dianggap lebih kuat dengan cara membandingkan. Paling terakhir itu taklid yaitu menerima perkataan orang yang tidak beralasan dari Al-Qur’an, Hadis, dan Qiyas. Hal ini menjadi rawan dalam pengambilan keputusan karena segala sesuatu perkataan tanpa musyawarah kelak akan dipertanggungjawabkan,” tutupnya. (Sumali)