Bencana Erupsi Merapi yang terjadi beberapa waktu lalu telah menghancurkan banyak aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali sayuran para warga yang rusak. Sebagai upaya mendukung program recovery Merapi, UMY memberikan pelatihan bagi para warga sekitar Ketep untuk membuat kompos dengan memanfaatkan sayuran yang telah rusak tersebut.
Demikian disampaikan Koordinator Recovery Merapi yang diselenggarakan Agriculture Training Center (ATC)-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerja sama Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Ir. Agung Astuti, M.Si ketika menjelaskan proses recovery yang dilakukan di Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Magelang Senin (13/12) di Kampus Terpadu UMY.
Lebih lanjut dijelaskan Agung, proses recovery yang dilakukan untuk pemberdayaan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. “Kegiatan keseharian penduduk di Desa Keteb adalah bertani sehingga kegiatan yang diberikan tidak jauh dari hal tersebut. Terlebih saat ini mereka sedang menunggu masa panen. Untuk mengisinya maka kita berikan kegiatan yang bermanfaat dan dapat memberikan penghasilan tambahan untuk mereka,”jelas Agung.
Terkait kegiatan yang diberikan, dalam pemaparan Agung, pasca letusan Merapi, sayuran hasil pertanian mereka banyak yang rusak. Sehingga tidak dapat dimanfaatkan. “Ketika Merapi meletus, sayuran sudah siap panen. Sehingga ketika mereka kembali tanaman mereka banyak yang rusak. Namun mereka tetap bangkit dan saat ini sudah mulai menanam kembali.”urai Agung.
Permasalahannya menurut Agung, mereka tetap membutuhkan pemasukan untuk biaya hidup sehari-hari, padahal sayuran siap panen paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua bulan. “Sehingga kami kemudian memutuskan untuk memberikan pelatihan untuk mengisi waktu luang mereka. Pelatihan yang kami berikan yaitu pembuatan kompos baik padat maupun cair untuk bapak-bapak maupun ibu-ibu.”papar Agung.
Terlebih sayuran-sayuran yang rusak tersebut juga banyak yang tidak termanfaatkan. “Banyak yang dipakai untuk pakan ternak, tetapi hanya sebagian, sisanya masih banyak. Kemudian bapak-bapak dan ibu-ibu di Ketep kami ajari untuk membuat pupuk kompos dari sisa-sisa sayuran tersebut. Ke depan mereka dapat membuat kompos juga bisa dari sampah rumah tangga seperti nasi, sayur, maupun sisa-sisa sayuran yang sudah dipanen.”urainya.
Terkait pupuk, menurut Agung, sebagian besar penduduk menggunakan pupuk buatan, padahal hal tersebut dapat merusak tanah. “Hal ini disebabkan ada zat-zat tertentu dari ppuk buatan tersebut yang tidak bisa diurai oleh tanah. Penduduk di sini mengakui hal tersebut, menurut mereka tanah menjadi keras. Sedangkan penggunaan pupuk kompos malah baik untuk tanah. Tanah akan menjadi lebih gembur.”ungkap Agung.
Untuk ibu-ibu tersebut selain pembuatan kompos juga diajari pemanfaatan kantong kresek maupun sampah plastik menjadi kerajinan. “Kemudian kami juga menyarankan agar dibuat semacam bank sampah. Dimana ketika mereka tidak mau mengelola sampah plastik, mereka dapat mengumpulkannya kemudian menjualnya ke pengepul sampah plastik. Sehingga sampah tidak menumpuk.”ujarnya.
Selain bapak-bapak maupun ibu-ibu, anak-anak juga mendapatkan pelatihan. “Kami juga memberikan pelatihan pembuatan kerajinan bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kami ajarkan pembuatan kerajinan magnetic. Misalnya benda-benda souvenir yang dapat ditempelkan di kulkas. Ke depan setelah mereka telah mahir membuatnya, siswa-siswi tersebut dapat menjualnya di Keteb sebagai souvenir para wisatawan,”tuturnya.
Agung berharap melalui kegiatan tersebut masyarakat dapat mengisi waktu luang dan memperoleh penghasilan tambahan. “Sehingga perekonomian dapat berjalan. Selain itu kegiatan ini juga dapat terus dilakukan untuk mendukung hasil pertanian mereka.”tegasnya.