Bulan Syawal menjadi momen istimewa dan bermakna bagi setiap umat Muslim. Syawal dikenal sebagai bulan yang baik untuk merayakan kemenangan dan sebagai ajang mempererat tali silaturahmi antar sesama umat manusia. Bulan tersebut selalu identik dengan dilakukannya kegiatan halal bi halal, lantaran kegiatan syawalan tersebut hingga kini telah menjadi tradisi di Indonesia yang terus melekat di kehidupan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan Islam pun turut menjalankan tradisi tersebut dengan mempertemukan seluruh pihak dalam waktu dan tempat yang sama. Di mana konsep halal bi halal tersebut akhirnya banyak diadopsi atau diikuti oleh berbagai instansi yang ada di Indonesia. Bahkan, kegiatan halal bi halal ini tidak bisa ditemukan di wilayah lain sekalipun daerah Timur Tengah. Meskipun dengan demikian, tradisi halal bi halal ini tidak lepas dari berbagai pandangan.
Sebagaimana hal tersebut disampaikan oleh Dr. H. Agung Danarto, M.Ag., Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam acara Syawalan dan Halal Bihalal Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tahun 1446 H pada Rabu (09/04) di Aula Lantai Dasar Masjid K.H Ahmad Dahlan UMY.
Agung menyebutkan bahwa sebagian kalangan menganggap kegiatan tersebut sebagai bid’ah atau perbuatan yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Namun, terus dilakukan oleh umat Islam selepas beliau wafat.
“Fenomena tersebut menunjukkan bahwa masyarakat belum bisa membedakan antara ibadah murni dengan kegiatan sosial budaya. Sehingga dengan mudahnya, mereka menyimpulkan bahwa sesuatu yang tidak dilakukan pada zaman Nabi selalu dikatakan sebagai bid’ah,” jelas Agung.
Nampaknya dengan melihat fenomena tersebut, persyarikatan Muhammadiyah yang dibentuk oleh KH Ahmad Dahlan perlu menciptakan bid’ah baru.
“Muhammadiyah perlu menciptakan bid’ah baru khususnya dalam dimensi sosial. Di mana bid’ah tersebut nantinya akan menumbuhkan rasa kohesivitas antar sesama (perasaan saling tertarik dan senang),” tambah Agung.
Hal senada juga disampaikan oleh narasumber hikmah Syawalan UMY kali ini , yakni Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Dr. KH. Tafsir, M.Ag bahwa kegiatan halal bi halal perlu disyukuri, sebab sebuah tradisi ajaran Islam justru berkembang menjadi budaya bangsa yang mengakar di setiap elemen masyarakat.
“Kultur yang diilhami oleh nilai Islam ini jangan dibuang dan perlu kita pertahankan. Sebab, setelah umat Muslim disucikan pada bulan Ramadan maka penyucian tersebut belum sempurna apabila tidak mendapatkan maaf dari sesama. Dengan kata lain, suci kepada Allah maka suci juga kepada sesama,” ungkapnya.
Namun, Tafsir meyakini kegiatan syawalan bukan menjadi aktivitas yang mudah untuk dilakukan. Memohon maaf dan memberikan maaf kepada sesama dengan ikhlas menjadi persoalan yang tentunya sulit untuk dilakukan.
“Oleh sebab itu, lapangkanlah dada Bapak/Ibu untuk keikhlasan dan kemudahan dalam memberikan maaf kepada sesama demi menjaga kerukunan dan keutuhan dalam hidup bermasyarakat,” pungkas Tafsir. (NF)