Porgram Pascasarjana UMY kembali meluluskan mahasiswanya pada program studi Doktor Psikologi Pendidikan Islam. Doktor ke-24 yang dihasilkan oleh UMY ini mengangkat tema disertasi “Pola Asuk Kyai dan Kemandirian Santri (Studi Komparasi Pada Pesantren At-Tauhid Al-Islamy Sawangan dan Pesantren Pabelan Mungkid Magelang Jawa Tengah)”.
Dalam disertasinya yang dipresentasikan pada sidang terbuka promosi doktor UMY, Sabtu (5/12) di ruang amphitheater gedung Pascasarjana lantai 4 Kampus Terpadu UMY, Muhammad Zuhaery mengatakan bahwa penelitiannya tersebut melibatkan dua pesantren yang memiliki metode pengajaran kemandirian santri yang berbeda. Jika pada Pesantren at-Tauhid al-Islamy pola asuh kemandirian yang diterapkan melalui model pengajaran, pengganjaran, dan pembujukan. Maka pola asuh kemandirian santri yang diterapkan Pesantren Pabelan lebih dikemas dengan lebih modern dibandingkan dengan pola asuh di Pesantren at-Tauhid al-Islamy. Perbedaan tersebut juga dikarenakan dua pesantren itu termasuk kategori pesantren salaf dan khalaf (modern), Pesantren at-Tauhid al-Islamy merupakan pesantren salaf, sementara Pesantren Pabelan adalah pesantren khalaf.
“Metode pengajaran yang diterapkan di pesantren at-Tauhid al-Islamy ini dilaksanakan dengan sistem penuh waktu, dimana setiap aktifitas santri memiliki dan diarahkan untuk pendidikan atau mencapai tujuan pengajaran. Lokasi pengajarannya juga tidak hanya dilaksanakan di ruang-ruang formal seperti ruang kelas, namun juga berlangsung di tempat lain seperti masjid, asrama dan ruang-ruang laboratorium alam. Sistem pengganjaran yang diterapkan juga disesuaikan dengan tingkat pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan santri. Sedangkan untuk sistem pembujukan tersebut melalui nasehat-nasehat oleh pengasuh pesantren tentang berbagai hal, baik itu tentang akhlak, motivasi, kisah-kisah teladan, hingga dorongan agar santri lebih rajin belajar tentang makna kehidupan serta kemandirian,” jelasnya.
Melalui tiga metode itulah, menurut Zuhaery, Pesantren at-Tauhid al-Islamy membentuk kemandirian santrinya. Kemandirian yang diperoleh santri melalui tiga metode tersebut adalah kesiapan mental untuk menghadapi dan berkiprah di masyarakat. Sebab pengajaran kemandirian yang diperoleh santri tidak hanya dari pendidikan formal saja, namun juga dari pendidikan non formal seperti berkebun dan berladang, dan itulah yang menjadi bekal mereka ketika lulus dari pesantren. Selain itu, faktor pendukung terbentuknya kemandirian santri di Pesantren at-Tauhid al-Islamy ini juga dikarenakan tingginya intensitas interaksi antara Kyai dan santri.
“Akan tetapi hal tersebut jauh berbeda dengan pola asuh kemandirian yang diterapkan oleh Pesantren Pabelan. Para santri di pesantren tersebut mendapat pelajaran tentang kemandirian tidak hanya melalui pengajaran yang dilakukan secara formal, pengganjaran dan pembujukan. Namun juga banyak diselingi dengan kegiatan ekstrakurikuler, seperti Pramuka, IAYP, Muhadzoroh, Keputrian, Pembiasaan, Olahraga, Leadership, Muhadzarah, KMD, serta Pengabdian Masyarakat. Melalui kombinasi antara pengajaran formal-informal dan ekstrakurikuler inilah para santri mendapatkan manfaat dan pengalaman besar dalam membantu pembentukan kemandiriannya, sehingga mereka punya bekal yang cukup kuat untuk menghadapi masyarakat ketika lulus,” urainya.
Namun, terlepas dari perbedaan metode pola asuh kemandirian dari dua pesantren tersebut, Zuhaery mengungkapkan jika output yang dihasilkan oleh kedua pesantren itu tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama menghasilkan output santri yang bisa mandiri dalam bidang spiritual, sosial, finansial dan softskill. “Pendidikan yang berlangsung di pesantren dapat membentuk kemandirian santri dalam empat hal, yakni mandiri secara spiritual, soft skill, sosial dan finansial. Sekalipun pendekatan dan metode yang diberikan oleh kedua pesantren tersebut berbeda. Jika pesantren at-Tauhid menggunakan pendekatan dengan terjun langsung ke masyarakat melalui ikut serta dalam bercocok tanam, maka di pesantren Pabelan melalui pendekatan organisasi,” ungkapnya.
Selain itu, Zuhaery juga menemukan temuan lain dari penelitiannya yang telah dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan ini, yaitu apapun latar belakang dari para peserta didik, selama intensitas interaksi dan pertemuan antara pengasuh atau guru dengan anak didiknya lebih rutin dilakukan, maka akan mempengaruhi kepribadian dan kemandirian anak didik tersebut.