Berita

Upaya Tingkatkan Pemahaman Kesetaraan Gender melalui Gender Sensitive Language

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman kesetaraan gender dalam masyarakat banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya melalui penggunaan gender sensitive language dalam pengajaran bahasa Inggris atau English Language Teaching (ELT). Karena bahasa dapat mempengaruhi persepsi atau pemahaman orang. Maka penggunaan bahasa Inggris yang tidak bias gender sangat diperlukan agar pemahaman atau kesadaran gender semakin meningkat khususnya di kalangan pengajar dan mahasiswa.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman kesetaraan gender dalam masyarakat banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya melalui penggunaan gender sensitive language dalam pengajaran bahasa Inggris atau English Language Teaching (ELT). Karena bahasa dapat mempengaruhi persepsi atau pemahaman orang. Maka penggunaan bahasa Inggris yang tidak bias gender sangat diperlukan agar pemahaman atau kesadaran gender semakin meningkat khususnya di kalangan pengajar dan mahasiswa.

Demikian disampaikan Dosen Pendidikan Bahasa Inggris – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Endro Dwi Hatmanto Spd, MA dalam diskusi terbatas mengenai ‘Pentingnya Penggunaan Gender Sensitive Language pada pengajaran bahasa Inggris’ di Kampus Terpadu UMY Rabu (3/11) siang.

Lebih lanjut Endro menjelaskan, pentingnya penggunaan gender sensitive language dalam pengajaran bahasa Inggris, karena pada dasarnya bahasa mampu mempengaruhi persepsi orang. Padahal dalam penggunaan bahasa Inggris banyak kosakata-kosakata yang bias gender.

“Ada kata-kata tertentu yang mengunggulkan pria kemudian memarjinalkan wanita. Terdapat diksi-diksi atau pilihan kata yang kemudian malah menggambarkan seakan-akan wanita tidak mampu berkiprah di masyarakat. Fenomena tersebut semakin menggambarkan adanya kurang sensitive gender language. Misalnya adanya pemahaman woman are sexy and men are successful,wanita itu sexy dan laki-laki itu sukses.”urainya.

Dalam penilaian Endro, bahasa merupakan refleksi kontruksi dan kondisi social. Selain itu penggunaan bahasa mampu mempengaruhi persepsi orang. “Sehingga perlu diperhatikan penggunaan kosakata dalam bahasa Inggris,”katanya.

Kata-kata yang bias gender tersebut misalnya nama-nama wanita di Negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya, wanita diberikan nama yang berarti barang atau benda-benda yang kecil. “Misalnya Ruby, Jewel, Pearl sedangkan nama laki-laki identik dengan kekuatan dan keberhasilan. Nama Neil menggambarkan juara, Harold berarti panglima perang, Rexberarti raja dan Richard berarti raja yang kuat”tambahnya.

Selain itu ditambahkan juga bahwa nama-nama pria seringkali dikonotasikan dengan arti kuat, berprestasi dan unggul. Sedangkan nama-nama wanita dikonotasikan dengan keindahan fisik wanita itu sendiri. “Kemudian hal tersebut mempengaruhi pemikiran sebagian masyarakat bahwa perempuan lebih menonjolkan kecantikan fisiknya tetapi kurang berprestasi.”ujarnya.

Oleh karena itu di kalangan pengajar bahasa Inggris selain menggunakan gender sensitive language, mereka harus meningkatkan gender awareness atau kesadaran mengenai gender. “Para pengajar diharapkan juga mengerti elemen-elemen bahasa yang bisa menimbulkan bias gender. Misalnya para pengajar mengajarkan siswanya ketika menuliskan surat dengan menuliskan ‘dear college’, dear reader’ dibandingkan menuliskan ‘dear Sir/gentleman’. Kemudian menggunakan bahasa yang netral seperti menuliskan ‘firefighter’ dibandigkan fireman lalu ‘police officer’dibandingkan policeman dan lainnya.”tuturnya.

Endro berharap para penerbit maupun media pun juga perlu memahaminya. “Sehingga  melalui hal tersebut dapat meningkatkan pemahaman kesetaraan gender yang ada di Indonesia. Sebagai bukti bahwa penggunaan bahasa ikut membangun gender equality atau kesetaraan gender. Karena bahasa akan mempengaruhi persepsi orang.”tegasnya