Berita

Usulan RUU Pemerintahan Digital DPD RI Perlu Dikaji Ulang

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan Uji Sahih Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintahan Digital yang dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis (23/06). Dalam acara tersebut, mencuat berbagai pandangan agar dilakukan pengkajian kembali terhadap materi muatan RUU yang telah disusun Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI.  

Pasalnya, PPUU DPD RI mengusulkan sebuah RUU pada akhir tahun 2021 sebagai usul inisiatif DPD RI. RUU ini juga ditujukan agar dapat mengatur dan mengakomodasi digitalisasi di bidang pemerintahan dan telah masuk dalam longlist Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Akan tetapi usulan RUU tersebut masih mendapat sorotan dan pandangan dari beberapa ahli UMY agar bisa dikaji ulang.  

Dr. Ulung Pribadi, M.Si, Dosen Ilmu Pemerintahan UMY menyampaikan bahwa dalam RUU tersebut diperlukan untuk mengubah paradigma dari electronic government (pemerintahan digital) menjadi electronic governance (tata kelola pemerintahan digital). 

Dengan begitu menurutnya akan melahirkan satu bentuk pemerintahan yang terintegrasi melalui hubungan yang sinergis antara pemerintah, pelaku ekonomi, pelaku industri, pengguna (customer), dan masyarakat serta mendorong terbentuknya mekanisme penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang melibatkan semua stakeholders secara bersama-sama dan setara (engagement). 

Lebih lanjut, disampaikan Ulung, ia menilai bahwa draft ini tidak hanya menekankan bidang ekonomi saja. Namun, perlu mencakup bidang lainnya seperti lingkungan, sumber daya alam, perubahan iklim, bencana, karifan lokal, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya dengan tujuan akhir pemberdayaan masyarakat atau citizens empowerment. 

Turut memberikan pandangan, Winny Setyonugroho S.Ked., M.T., Ph.D., Kepala Divisi Website, Aplikasi, dan Big Data Lembaga Sistem dan Informasi UMY. Ia mengapresiasi adanya inisiatif RUU karena merasakan UU tersebut akan sangat diperlukan khususnya untuk praktisi di bidang teknologi informasi. Namun menurutnya, perlu diciptakan standar data dan informasi dari bawah maupun atas.  

“Standar data harus ada, standar komunikasi data pun standar keamanan yang tegas. Dalam draft ini juga belum diatur bahwa data apa saja yang boleh diminta dari penduduk, siapa yang boleh meminta, siapa yang menyimpan, dan bagaimana kewajibannya. Ini termasuk standar data policy dan keamanan. Agar masyarakat jelas menolak memberikan data kepada yang tidak berwenang tanpa harus kehilangan hak dan kesetaraan terhadap layanan,” jelas Winny, praktisi IT UMY. 

Terlebih yang juga menjadi tantangan dalam penyelenggaraan UU ini bahwa di daerah memiliki kondisi berbeda-beda, sehingga akan lahir banyak tantangan baru dalam halnya transformasi digital. “Misal, ketika dari pusat membuat aplikasi dan dibawa ke daerah, kemudian daerah akan bingung terkait keberlanjutan sistem digital tersebut. Seperti siapa yang akan memelihara, bagaimana jika ada kerusakan. Tentu saya tidak ingin RUU ini terjebak seperti itu,” tegas Winny. 

Sementara itu Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. rer. publ., Tim Ahli Penyusunan RUU Pemerintahan Digital, mengatakan bahwa pandemi menunjukkan bahwa Digital Governance adalah solusi dan keniscayaan. “Dimana dalam ekosistem digital, pemerintah bukan satu-satunya pihak, melainkan secara bersama-sama membangun dan memelihara pengembangan ekosistem dengan sektor ekonomi dan masyarakat yang terdiri dari pemerintahan digital, masyarakat digital, dan ekonomi digital, serta infrastruktur dan teknologi digital,” terangnya. 

Di akhir kegiatan uji sahih tersebut juga disimpulkan bahwa masukan serta saran dan pendapat yang berkembang akan ditindaklanjuti oleh PPUU dalam tahap finalisasi RUU untuk kemudian diputuskan dalam Sidang Paripurna DPD sebagai RUU usul inisiatif DPD dan disampaikan kepada DPR dan Presiden agar dapat segera dilakukan pembahasan bersama. (NSN)