Berita

Wajah Pendidikan Islam di Tanah Sultan

Hj. Rajiyah Ketua kelompok Muallaf Mujahid Halmahera Utara

Pendidikan agama menjadi salah satu hal yang sangat diperlukan bagi setiap orang untuk membangun insan yang berkarakter. Lembaga pendidikan formal seperti sekolah berlatarkan agama seperti pondok pesantren maupun madrasah begitu diminati dalam satu dekade terakhir. Para orang tua merasa puas jika anak – anak mereka mengenyam pendidikan di lembaga yang memberikan pemahaman agama secara maksimal. Selain pendidikan usia dini dan sekolah dasar hingga mengengah atas, lembaga pendidikan berlatarkan Islam juga cukup digandrungi hingga ke tingkat perguruan tinggi. Puluhan ribu mahasiswa baru masuk ke perguruan tinggi Islam swasta maupun negeri tiap tahunnya. Akan tetapi, fenomena seperti di atas kurang terasa di Indonesia bagian timur, salah satunya Provinsi Maluku Utara (Malut). Keinginan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan berlatar belakang Islam sedikit terhambat, hal ini dikarenakan kurang meratanya pembangunan sekolah Islam di kawasan itu.

Sebagai contoh nyata dari kurangnya lembaga pendidikan berasaskan Islam adalah hanya terdapat 3 perguruan tinggi yang berlatarkan Islam di Provinsi Maluku Utara. Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Babussalam Sula Maluku Utara merupakan perguruan tinggi Islam swasta yang berada di Malut, dan Institut Agama Islam Negri (IAIN) Ternate menjadi satu – satunya perguruan tinggi negri Islam. Keadaan itu diperparah dengan keberadaan 2 institusi yang terpusat di pulau Ternate yaitu UMMU dan IAIN Ternate, sedangkan STAI Babussalam Sula bertempat di pulau Sulabes yang berada di selatan Provinsi Malut. Jumlah ini sangatlah sedikit, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi Islam yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 12 perguruan tinggi yang terdiri dari universitas dan sekolah tinggi. Mengingat bahwa Provinsi Maluku Utara memiliki wilayah yang lebih luas sebesar 31.982 km² jika dibandingkan Provinsi NTB yang mempunyai wilayah seluas 19.709 km².

Hal ini disayangkan oleh Hj. Rajiah yang merupakan Ketua Kelompok Mualaf Mujahid yang berada di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Rajiah berkata bahwa anak – anak yang berada di pulau Halmahera membutuhkan lembaga tinggi Islam bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah tersebut. “Saya sebagai orang tua sangat mengharapkan didirikannya perguruan tinggi Islam di pulau ini. Mengingat Tobelo sebagai kota terbesar di Pulau Halmahera, sudah sewajarnya pemerintah atau pun Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam yang ada di Indonesia membangun kampus di sini,” ujarnya.

Hal serupa juga dikatakan oleh Rahman Sahal S.H.I yang menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Galela. Ia berkata bahwa selepas konflik antar etnis yang berkecamuk pada awal milenium di Kepulauan Maluku, anak – anak yang menjadi korban kejadian tersebut mumbutuhkan pendidikan agama secara intensif dan berkesinambungan. “Semua orang di negeri ini pasti mengetahui konflik hebat yang merenggut belasan ribuan nyawa mulai dari anak kecil hingga para lansia. Dan yang menjadi perhatian kami adalah menjaga mental dan psikologis anak – anak yang selamat dari tragedi itu. Tentunya dengan memberikan pendidikan agama secara berkelanjutan baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal,” tutur Rahman.

Kepala KUA Kecamatan Galela pun memaparkan bagaimana sangat dibutuhkannya perguruan tinggi Islam di pulau itu bagi para siswa SMA yang ingin mengenyam pendidikan di bangku kuliah. “Setelah lulus dari SMA, banyak anak – anak di sini yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri atau pun swasta yang berasaskan Islam. Ada yang merantau ke Kota Ternate untuk kuliah di UMMU atau IAIN Ternate, tapi bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan kuliah, ya terpaksa berhenti di bangku SMA saja,” tambah Rahman.

Di Pulau Halmahera yang mencakup 5 kabupaten yaitu Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, dan Halmahera Tengah memang sudah ada program kuliah jarak jauh yang dilakukan oleh IAIN Ternate. Akan tetapi, fasilitas itu dirasa sangat kurang, karena waktu pertemuan dilakukan sekali dalam 1 minggu. Selain itu, program kelas jarak jauh hanya membuka satu program studi saja, yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Ditambah lagi, tidak semua orang bisa mengikuti kelas tersebut, karena layanan itu hanya diperuntukan bagi para Pegawai Negri Sipil (PNS) yang ingin melanjutkan pendidikan mereka. Dengan alasan itu, Rahman sangat berharap ada perguruan tinggi Islam yang berdiri di Pulau Halmahera atau yang biasa disebut oleh warga setempat sebagai Pulau Panjang.

Menghidupkan kembali SMA Muhammadiyah yang mati suri

Di tengah minimnya sarana pendidikan Islam di Pulau Panjang, ada satu kisah menarik yang patut kita simak bersama. Kisah ini berasal dari dedikasi seorang alumni Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Galela untuk menyelamatkan almamater tercintanya dari ancaman penutupan sekolah. Rahman Sahal S.H.I merupakan alumni SMA Muhammadiyah Galela tahun 1994. Selepas dari bangku SMA, ia melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan kemudian menjadi kepala KUA Galela pada tahun 2010 sampai saat ini. “SMA Muhammadiyah tempat saya bersekolah berdiri pada tahun 1990, dan saya lulus dari situ 4 tahun kemudian. Saya merasa sedih sekali ketika mendengar kabar bahwa sekolah tempat saya belajar dulu, rupanya pada kemudian hari dalam keadaan memprihatinkan,” ujarnya.

Keadaan mulai memburuk pada tahun 2012, saat itu murid sudah banyak yang keluar dari sekolah karena alasan ekonomi. Ditambah lagi dengan beberapa guru yang mengundurkan diri. Keadaan itu terus berlangsung selama 2 tahun, dan puncaknya pada awal tahun 2014. Sekolah itu hanya menyisakan seorang siswa, dan kemudian pada tahun yang sama SMA Muhammadiyah Galela resmi menghentikan proses belajar mengajar. Rahman sebagai kader Muhammadiyah dan juga alumni dari sekolah itu merasa terpanggil untuk menghidupkan kembali sekolah yang sudah mati. Tetapi, jalan yang dilalui untuk menghidupkan sekolah tidak selalu berjalan mulus. “Hati saya terpanggil untuk kembali ke almamater yang sudah mendidik saya beberapa belas tahun yang lalu. Berbekal tekad dan impian, saya sebagai alumni berjanji akan mengembalikan sekolah itu seperti sedia kala. Pada saat itu, kebetulan saya menjabat sebagai wakil sekertaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kecamatan Galela. Jadi saya langsung mengambil alih SMA Muhammadiyah Galela dengan cara menjadikan diri saya sendiri sebagai kepala sekolah,” tuturnya.

Rahman yang menjabat sebagai wakil sekertaris PCM Galela membuat Surat Keputusan (SK) dan kemudian menandatangani surat tersebut. SK itu berisi tentang pengangkatan dirinya sebagai kepala sekolah. Langkah selanjutnya yang dia lakukan ialah mengumpulkan para guru yang dahulu keluar untuk kembali mengajar di sekolah itu. Pada akhirnya terkumpul 8 orang guru yang bersedia kembali mengajar di sekolah tersebut. Setelah berhasil mengumpulkan para tenaga pengajar, Rahman pun kembali berjuang untuk menemukan calon siswa yang hendak bersekolah di sekolah tersebut. langkah awalnya adalah menemui seluruh siswa SMA Muhammadiyah Galela yang putus sekolah. Dengan segala upaya yang dia lakukan selama 5 bulan terhitung sejak Februari 2014, ia berhasil meyakinkan 30 siswa untuk belajar di sekolah Muhammadiyah itu. “Semua siswa yang berhenti sekolah pada waktu itu saya datangi dan ajak untuk kembali masuk sekolah. Mereka saya belikan seragam dan keperluan sekolah dan saya jamin mereka untuk bersekolah secara gratis. Selain itu, saya selalu mengajak seluruh siswa untuk makan bersama dan pergi ke suatu tempat jika ada kegiatan dari pemerintah setempat. Semua saya lakukan demi menjaga semangat belajar mereka agar tidak luntur, dan juga saya memposisikan diri saya bukan hanya seorang guru, tapi juga ayah,” imbuh Rahman.

Rahman pun mengatakan bahwa modal untuk membiayai oprasional sekolah termasuk juga gaji para guru honorer menggunakan uangnya pribadi yang didapatkan dari gajinya sebagai Kepala KUA. Setiap guru honore diberi gaji sebanyak 250.000 Rupiah tiap bulannya, akan tetapi uang bulanan itu sering terlambat diberikan sampai 3 bulan lamanya. Hal itu terjadi karena uang yang awalnya ditujukan untuk guru, digunakan sebagai dana pembangunan sekolah yang lain. Akan tetapi semua guru yag mengajar di sana sadar dengan kedaan di sekolah tersebut, dan mereka mendedikasikan tenaga dan waktunya semata – mata hanya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah S.W.T.

Perjuangan panjang yang dilakukan Rahman mulai membuahkan hasil, Pemerintah Provinsi Maluku Utara secara berkala memberikan bantuan kepada SMA Muhammadiyah Galela untuk membantu biaya operasional. Selain itu, Rahman pun mengupayakan untuk 30 siswa yang lulus pada angkatan pertama untuk bisa melanjutkan kuliah secara gratis di Universitas Muhmmadiyah Maluku Utara. Kemudian, setelah 4 tahun berjuang mati – matian untuk menghidupakn kembali sekolah yang sempat mati suri, Rahman mundur sebagai kepala sekolah pada tahun 2017. Ia menyerahkan sekolah itu kepada penerusnya untuk dikembangkan lebih besar lagi, dan targetnya pada tahun 2019 akan dibangun 3 gedung baru untuk menampung siswa yang semakin banyak.

Melihat kondisi yang seperti itu, Rahman dan Hj. Rajiah sangat berharap kepada Ormas Islam yang ada di Indonesia dan Kementrian Agama untuk memberikan perhatian lebih terhadap lembaga pendidikan Islam di Indonesia bagian timur. Rajiah yang merupakan ketua kelompok muallaf merasa pendidikan agama sangat dibutuhkan semua kalangan, baik dari remaja hingga lansia. Kekhawatiran ini muncul karena banyak sekali muslim yang berpindah agama. Faktanya, organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan yang lainnya hanya tinggal nama dan masyarakat kurang merasakan dampak dari berbagai organisasi Islam mapan yang ada di Indonesia.

Mengetahui hal – hal di atas, kita umat Islam sepatutnya berfikir untuk mulai bertindak melalui hal – hal yang kecil semampu kita, agar semakin banyak orang – orang seperti Rahman yang memiliki semangat juang dan bermental baja untuk selalu berjuang demi mencerdaskan anak bangsa. Itulah sepotong kisah pendidikan Islam di tanah yang sempat memiliki dua kerajaan Islam besar di Indonesia yang mengalami puncak kejayaan pada abad ke – 17 Masehi, yaitu Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate. (ak)