Jumlah pemimpin wanita yang ada hingga saat ini di Indonesia masih sangat minim dibandingkan dengan pemimpin laki-laki. Bahkan beberapa kalangan memandang bahwa kehadiran pemimpin wanita menjadi suatu permasalahan tersendiri. Namun pada dasarnya, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam menduduki kursi kepemimpinan. Namun pada praktiknya masih banyak stereotip yang beranggapan bahwa ketika wanita menjadi seorang pemimpin maka ia akan mengungguli laki-laki.
Hal tersebut tidak dibenarkan oleh Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Alimatul Qibtiyah Ph.D. yang mengatakan bahwa wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan, dalam Seminar Alumni German Academic Exchange Service (DAAD) dengan tema Strategic Gender Management yang diselenggarakan di Ruang Sidang Komisi Gedung AR. Fakhrudin A lantai 5 pada Senin (21/03). “Dalam ilmu feminisme, teori dibedakan menjadi dua, pertama moderate atau different theory yang menyebutkan bahwa laki-laki dan wanita adalah setara tetapi berbeda, yang mana perbedaan tersebut bukan berarti satu pihak melebihi pihak lainnya. Dalam ide ini cenderung untuk mempertahankan peran gender secara tradisional. Sedangkan teori kedua adalah progressive atau sameness theory yang menyebutkan bahwa laki-laki dan wanita memiliki hak yang setara dalam hal apapun, karena pada dasarnya untuk mencapai suatu posisi tertentu, seseorang dinilai dari kecakapannya bukan dari jenis kelaminnya,” jelas Alimatul.
Dalam seminar tersebut, Alimatul menjelaskan tentang ‘Strategic Gender Management (SGM) and the Promotion of Female Leadership in the Science System’. SGM sendiri merupakan pendekatan menuju posisi dinamis dan pertahanan diri dalam keseimbangan organisasi, dengan tanpa mengindahkan gender untuk menentukan pekerjaan dan promosi. “Kita membutuhkan SGM karena selain lebih dinamis, juga akan dapat menciptakan kesempatan baru dibandingkan hanya membela teori lama. Sebagai hasilnya, organisasi atau perusahaan yang menggunakan SGM akan lebih menunjukkan performa yang lebih baik dibanding yang tetap bertahan pada tradisi lama,” tambah Alimatul.
Meskipun demikian, Dosen di UIN Sunan Kalijaga tersebut juga mengakui bahwa SGM juga mempunyai beberapa tantangan tersendiri. Tantangan yang dimaksud antara lain penolakan atau deprioritasi, perubahan yang berjalan lambat, dan tantangan dalam merealisasikannya. Yang dimaksud dengan deprioritasi sendiri, menurut Alimatul, adalah ketika wanita memiliki masalah, mereka tidak pernah melakukan komplain, karena terkadang isu atas masalah mereka merupakan isu yang minor. Sehingga dalam kasus tersebut, permasalahan wanita harus dideprioritasikan. “Tantangan kedua dalam memberlakukan SGM adalah perubahan yang akan terjadi lambat. Hal ini karena mungkin hanya sedikit laki-laki yang mau memahami perempuan. Dan laki-laki tahu bahwa mereka memiliki dominasi yang lebih, dan mereka tidak akan secara mudah menyerahkannya,” ujar Alimatul.
Namun kesetaraan gender yang dimaksud bukan berarti wanita harus melebihi derajat kaum laki-laki. Jika hal ini terjadi, Alimatul menambahkan, akan membawa akibat buruk tersendiri. “Seperti kasusnya di Finlandia, disana tidak ada pembahasan terkait kesetaraan gender bagi wanita. Karena di Finlandia, kebanyakan wanita lebih unggul dari laki-laki, yang menjadikan laki-laki banyak yang bertugas menjadi house husband (bapak rumah tangga-red). Dan hal tersebut membawa dampak buruk tersendiri, dan jangan sampai di Indonesia juga terjadi hal tersebut,” tutur Alimatul.
Ketua Panitia Seminar Alumni DAAD, yang juga merupakan Kepala Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan, Dr. Dyah Mutiarin, MSi menerangkan bahwa seminar ini mengangkat isu Gender terutama dalam Kepemimpinan Wanita karena ia melihat bahwa wanita sebenarnya memiliki kapasitas dan kompetensi yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. “Namun masih jarangnya pemimpin wanita disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah faktor kultural yang mana wanita masih banyak yang menarik diri dalam partisipasi menjadi seorang pemimpin, dan banyaknya anggapan negatif jika wanita menjadi pemimpin. Kedua yakni faktor struktural,” jelas Dyah.
Ia menambahkan bahwa solusi yang tepat untuk membantu para wanita agar dapat memperoleh hak yang sama sesuai dengan hak para laki-laki adalah dengan memberikan mereka pembelajaran dengan bentuk seperti pelatihan kepemimpinan bagi wanita, seminar, workshop dan lain-lain. “Selain itu, diambil tema gender ini juga karena banyaknya peserta dari alumni DAAD ini yang memiliki ketertarikan atas isu gender,” tutup Dyah. (Deansa)