Identitas merupakan sebuah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang dengannya setiap individu menjadi berbeda atau pun sama dengan yang lainnya. Perbedaan atau kesamaan itu menjadikan setiap orang beragam dan ini adalah hal mutlak yang tidak terbantahkan lagi. Ia merupakan anugerah dan apabila kita mampu memahaminya maka ia akan menjadi indah. Masing-masing identitas memiliki karakteristik unik yang di dalamnya terkandung kekayaan sosial dan budaya. Tak terkecuali dengan suku adat Kokoda yang tinggal di kampung Warmon Kokoda, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong.
Masyarakat Kokoda yang kini mendiami kampung itu pada awalnya merupakan suku nomaden yang berasal dari pulau Kokoda di Sorong Selatan. Di sana budaya mereka kuat, keterikatan antar marga keluarga terjalin erat, seluruh kegiatan keseharian yang mereka lakukan berpusat pada rumah adat. Rumah adat ini menjadi wadah bagi segala aktivitas suku Kokoda sekaligus menjadi identitas dalam bentuk fisik untuk mereka. Rumah adat suku Kokoda juga memayungi berbagai marga keluarga yang ada dalam masyarakat ini. Di dalamnya, para kepala marga membahas dan memutuskan seluruh urusan yang menyangkut kehidupan bersama, mulai urusan pangan hingga perang. Bahkan jika ada salah satu warga yang ingin melangsungkan pernikahan, mereka berkumpul untuk membicarakannya. Sungguh kita dapat membayangkan bagaimana kompaknya suku adat Kokoda di sana.
Namun lain halnya dengan suku Kokoda yang kini tinggal di kampung Warmon Kokoda. Ketika mereka masih nomaden, jangankan rumah adat, rumah untuk mereka tinggal pun tak ada. Jika mereka mencoba nekat untuk menetap di tanah orang lain atau milik pemerintah mereka pasti akan tergusur, seperti yang terjadi ketika mereka tinggal di area Bandar Udara Domino Eduard Osok. Tapi saat ini mereka sudah memiliki sendiri tanah dan rumah untuk mereka huni, yang diwakafkan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan. Kelompok KKN (Kuliah Kerja Nyata) Mahardika Bakti Nusantara (MBN) dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang diterjunkan ke kampung itu kemudian menyarankan agar warga Warmon Kokoda membangun rumah adat mereka sendiri. “Suku Kokoda merupakan sebuah komunitas yang cukup besar di daerah asalnya. Mereka yang ada di kampung Warmon Kokoda pun jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa marga keluarga yang tinggal bersama di kampung ini, diantaranya adalah Gogoba, Tobisa, Bebawo, Toriga, Namugur, Toparago, Toriga, Adine, Tobi, Sangaji, Patagar, Baw dan Atune. Kami merasa bahwa budaya adat mereka ini perlu ditunjukkan secara fisik untuk mendukung dan menguatkan identitas mereka sebagai sebuah suku adat. Karena itu kami memberikan saran agar warga Warmon Kokoda membangun rumah adat milik mereka sendiri,” tutur Idra Faudu, mahasiswa Agroteknologi UMY yang merupakan salah satu anggota MBN.
Suku Kokoda pun menyambut baik saran yang diberikan oleh MBN, segera mereka merencanakan pembangunan rumah adat tersebut. Pengadaan bahan material dilakukan secara kolektif oleh MBN dan juga warga Kokoda yang bersama-sama mengumpulkan dana. Begitu bahan material sudah tersedia, tidak perlu waktu lama bagi warga Warmon Kokoda untuk bergotong royong membangun rumah bersama ini. “Rumah adat ini nanti akan menampung seluruh keberagaman yang dimiliki oleh warga Warmon Kokoda, baik itu marga keluarga, sub-etnis bahkan agama. Di rumah inilah nantinya mereka akan duduk bersama memusyawarahkan berbagai urusan untuk memajukan masyarakat mereka. Saya berharap rumah ini akan menjadi pemersatu warga Warmon Kokoda,” ungkap Idra saat diwawancarai tim Biro Humas dan Protokoler (BHP) UMY disela-sela kegiatan gotong royong yang ia lakukan bersama dengan pemuda-pemuda Warmon Kokoda.
Diceritakan oleh salah seorang tetua adat di Warmon Kokoda, Syamsyuddin Atune, bahwa pembangunan rumah adat ini sudah berlangsung sejak jaman moyang mereka yang sudah lampau. Ia bercerita bahwa pembangunan rumah adat adalah sesuatu yang sakral dan apabila mereka ingin melakukannya ada tahapan-tahapan yang harus mereka lakukan terlebih dahulu. Pertama mereka harus menang dalam peperangan dengan musuh, dimana masing-masing kepala marga keluarga harus berhasil mengambil satu kepala musuh. Setelah itu mereka akan melakukan Tipagong, pesta bersama, sebagai perayaan kemenangan mereka dan pesta ini akan dilakukan sehari semalam oleh mereka. Setelah itu barulah mereka menancapkan Gagar, yaitu tiang penyangga utama rumah yang di setiap sisinya sudah dituliskan nama-nama beserta simbol setiap marga suku Kokoda. Satu Gagar bisa memuat satu hingga empat nama marga sekaligus, ini dilakukan sesuai keterkaitan yang dimiliki antar marga seperti hubungan darah dan lainnya. Penempatan urutan dari tiang Gagar ini pun harus mengikuti aturan, yaitu menyesuaikan kedudukan marga keluarga dalam komunitas tersebut. Kemudian kepala musuh yang sudah didapatkan oleh kepala marga digantungkan di tiang Gagarnya masing-masing, barulah bangunan rumah adat ini dilanjutkan dengan memasang atap Rumbia dan juga dinding kayu. “Tapi, tenang saja, pembangunan rumah adat di kampung Warmon Kokoda tidak akan diawali dengan ritual peperangan terlebih dahulu,” ujar Syamsyuddin.
Meskipun begitu, hal tersebut tidak akan mengurangi fungsi dari rumah adat ini sedikitpun. Ia akan tetap menjadi wadah untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh warga Warmon Kokoda. “Kami sendiri memang membutuhkan rumah adat ini, karena rumah inilah yang menjadikan kami bisa berkata ‘saya orang Kokoda’. Rumah adat dalam sejarah budaya kami memang sudah tidak bisa dilepaskan. Rumah adat ini akan menjadi wadah untuk seluruh kegiatan bersama. Mulai dari sasi adat, menyelesaikan masalah, hingga menjamu teman-teman mahasiswa ini. Kalau setelah ini (masa bakti MBN habis) akan ada yang datang lagi ke Warmon Kokoda, akan kami jamu di rumah adat,” ujar Awami Adine yang juga merupakan tetua adat di kampung Warmon Kokoda. Ia menyampaikan bahwa posisi rumah adat dalam struktur sosial dan budaya mereka adalah sebuah keharusan dan memang penting untuk menjaga kelestarian identitas suku Kokoda yang mereka miliki. (raditia)