Waria merupakan salah satu populasi kunci yang berisiko tinggi terjangkit penyakit HIV/AIDS. Penerimaan masyarakat dan sulitnya mendapatkan identitas menjadi beberapa faktor yang menyebabkan mereka memilih untuk turun ke jalan dan bersinggungan dengan HIV/AIDS. Selain itu, terbatasnya lahan kerja juga membuat banyak dari waria terpaksa melakukan pekerjaan yang rentan penyakit yang menyerang imun tubuh tersebut. Oleh karenanya, waria pun akan terus lahir dan meningkat jumlahnya.
Demikian disampaikan Arum Mariska, salah satu pendiri LSM Keluarga Besar Waria Yogyakarta (KEBAYA) dalam kegiatan Sharing dan Buka Bersama yang diadakan LSM Jari Mulia UMY, Senin (30/08) sore, di Ruang Mini KG 2 Gedung F Kampus Terpadu UMY.
Menurutnya, diskriminasi terhadap keberadaaan waria di kehidupan agaknya menjadi suatu hal yang terlihat jelas dilakukan oleh masyarakat luas. Kebanyakan dari mereka menilai waria adalah suatu bentuk negatif yang melenceng dari seharusnya dan dapat disembuhkan. Padahal, waria bukan merupakan penyakit, sehingga tidak seharunya disembuhkan.
Arum mengungkapkan, kekeliruan sebagian besar masyarakat adalah bagaimana mereka terlanjur mempersepsikan seluruh waria dalam satu kerangka negatif. Padahal jika diamati, bentuk negatif tersebut dilakukan hanya oleh sebagian waria saja. Sehingga kebanyakan waria lain akan merasa serba salah dalam melakukan suatu hal.
Arum mencontohkan diskriminasi itu dalam hal penggunaan toilet umum. Bentuk diskriminasi dalam hal penggunaan toilet umum memang sering dirasakan kaum waria. Saat menggunakan toilet pria, para pria akan risih melihat kaum waria masuk dengan menggunakan pakaian wanita. Begitu juga di toilet wanita, mereka akan diteriaki lantaran mereka berjenis kelamin pria.
Terkait pekerjaan, mereka juga mengeluhkan adanya perbedaan penerimaan dari masyarakat ketika mereka berupaya mencari pekerjaan. Misalnya, ketika ada yang membutuhkan tenaga pembantu rumah tangga. Dalam dua pilihan antara wanita dan waria untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kebanyakan masyarakat akan lebih memilih mempekerjakan wanita, sekalipun wanita tersebut sudah tua renta. Padahal, pekerjaan ini membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Ini adalah salah satu contoh akibat dari persepsi negatif yang ada terhadap kaum waria.
Untuk menanggulangi masalah-masalah di atas, Arum memaparkan perlu dibentuknya pola pikir yang positif sejak awal oleh masyarakat. Ia juga menekankan pembentukan kesadaran tersebut harus dilakukan dua arah. Waria akan tetap terlihat negatif jika pendampingan terhadap mereka tidak dibarengi dengan sosialisasi kepada masyarakat tentang lahirnya waria. “Masyarakatlah yang membuat fenomena, sehingga merekalah yang harus diubah pola pikirnya. Percuma kalau hanya warianya saja”, tegasnya.
Sementara itu, Sitirahma Dhesmarleni, Ketua Umum Jari Mulia, menjelaskan kegiatan ini dimaksudkan untuk memberitahu sejak dini seluk beluk populasi kunci HIV/AIDS dengan menghadirkan anggota LSM KEBAYA. “Mahasiswa Kedokteran memang seharusnya mengerti hal-hal seperti ini sejak awal, ini salah satu tujuan Jari Mulya”, jelasnya. Selain mahasiswa baru, Jari Mulia juga mengundang alumni, dan wakil-wakil organisasi di lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmum Kesehatan (FKIK) UMY.